Nih die Betawi dan Segala Bentuk Ekspresi Keseniannya (Bagian I)



Mula Kate
Masyarakat Betawi sudah bermukin di kawasan yang sekarang dinamakan Jakarta, diperkirakan sejak 2500-15 SM. Ini jelas soheh lantaran dikemukana oleh beberapa ahli antara lain Robert von Heine Geldern dan W.G. Solheim. Yang sebenarnya tidak begitu berbeda dengan perkiraan pengendapan lumpur yang membentuk dataran alluvium daerah Jakarta sebagaimana diperkirakan Verstappen yaitu 5000 tahun lalu.

Dugaan waktu di atas didasarkan kepada temuan bukti-bukti arkeologis yaitu artefak baik yang pernah dihimpun pada masa Hindia-Belanda dan telah diinventarisasi Th.a.Th van der Hoop dan benda-bendanya tersimpan dalam koleksi Museum Nasional kini, ditambah dengan hasil-hasil ekskavasi di situs Kalapa Dua sekitar tahun 1971. Alat-alat atau artefak itu ada yang berupa kapak persegi, beliung, serpihan batu, mute, gelang batu, bahkan pecahan-pecahan kreweng atau gerabah, yang menarik perhatian dalam daftar inventaris Museum yang telah dilakukan van Der Hoop ternyata ada sebuah alat batu yang diperkirakan pacul temuan dari daerah Jatinegara. Tempat-tempat temuan alat-alat batu dari jaman Batubaru atau Masa Bercocok Tanam itu di daerah Jakarta dan sekitarnya adalah : Pasar Minggu, Pasar Rebo, Tanjung Timur, Kampung Salak dekat Pesing, Kampung Sukabumi, Cililitan, Sunter, Condet di tepi jalan Jakarta-Bogor, dekat stasiun Jatinegara, kampung Kranggan, dekat Pasar Rebo, kampung Karang tengah, Pasar Jumat, Kebayoran, Karet, Gedung Ijo Pasar Jumat, Pondok Betung-Ciputat, Kebayoran Lama, kampung Pulo Jatinegara, Kebon Sirih, Cawang, kampung Cipayung-Kebayoran, Pondong Pinang-Kebayoran, Kebon Pala-Jatinegara, Kebon Nanas, Rawa Belong-Kebayoran, Rawa Lele, Kelapa Dua dan di beberapa tempat lainnya.

Berdasarkan tempat temuan itu yang karena banyaknya alat-alat yang ditemukan dengan sejumlah pecahan tembikar dan batu asahan serta letaknya di pinggir sungai Ciliwung yang memungkinkan adanya pemukiman masyarakat masa itu antara lain di Kalapa Dua. Apalagi keletakannya di pinggir sungai Ciliwung dan artefak-artefak itu hasil ekskavasi arkeologis tahun 1971 seperti telah dikemukakan di atas. Sejak masa itu lazim masyarakatnya sudah mengenal tempat tinggal yang tetap dengan pengetahuan membangun perumahan, mengenal bercocok tanam di tanah darat, sudah mengenal organisasi sosial dengan pemimpin sukunya yang dipilih anggota-anggota masyarakatnya, sudah mengenal perdagangan meski cara barter, mengenal pelayaran, ilmu perbintangan, mengenal pembuatan pakaian, memasak makanan dengan cara dibakar dan direbus, mengal ilmu perbinatangan dan lainnya. Pendek kata masyarakat masa itu sudah berkebudayaan tinggi sebelum kehadiran orang-orang India seperti pernah dikemukakan oleh beberapa ahli asing seperti J.L.A. Brandes, N. J. Krom, F.D.K. Bosch dan lainnya. Berdasarkan banyak situs temuan jelas bahwa daerah Jakarta sejak masa Prasejarah itu sudah pernah ditempati atau sekurang-kurangnya telah dijelajahi komunitas masyarakat masa itu dalam mencari penghidupannya. Meskipun kita tidak mengetahui jumlah kependudukan waktu itu ada pendapat pada jaman masyarakat Bercocok tanam atau Batubaru diperkirakan dua keluarga per Km persegi. Masyarakat yang berhubungan dengan masa itu biasanya dikaitkan dengan nenenk moyang bangsa Indonesia  yang disebut jenis bangsa Austronesia yang semula menempati daerah dataran Asia Tengara antara Yunan dan Tonkin.

Dengan ditemukan berbagai peralatan dari masa berikutnya yaitu masa Kebudayaan Logam atau juga disebut perundagian, lebih kurang sejak 500 SM di beberapa temapt di wilayah Jakarta yang dibuat dari logam perunggu dan besi, memberikan bukti adanya kesinambungan kehidupan masyarakat dengan kebudayaannya, paling tidak betul-betul mengenal 7 unsur universal kebudayaan sebagaimana lazim dimiliki suatu kelompok apakah clan atau suku suatu masayarakat. Benda-benda atau artefak dari perunggu-besi itu antara lain berupa kapak sepatu atau corong, tombak, bekas coran besi, sisa-sisa besi. Alat-alat itu ditemukan dari situs Kalapa Dua, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Pasar Minggu dan Jatinegara. Dengan temuan alat-alat itu jelas dalam kehidupan masyarakat sudah timbul dan berkembang pengetahuan logam dan teknologi pembuatan alat-alat dari logam dengan mungkin cara pencoran dalam cetakan (bevalve) atau mungkin dengan teknik pelelehan lilin (a cire perdue). Kecuali itu dengan munculnya pengetahuan logam atau metalurgi muncul pula golongan masyarakat tertentu yang mungkin dapat disebut golongan tukang pande besi, pedagang, pembuat gerabah dan lainnya yang membentuk lapisan kependudukan berdasarkan kekaryaan. Kehidupan masyarakat di daerah Jakarta sejak masa itu makin berkembang dan bilamana sejak abad-abad pertama mulai berhubungan dengan orang-orang India terjadi proses akulturasi diantara kedua kebudayaan itu dan timbullah kebudayaan yang bercorak Indonesia-Hindu/Budha, dan kerajaan tertua di Pulau Jawa ialah Kerajaan Taruma.

Penggunaan nama Betawi sebagai nama suku bangsa telah dipergunakan sekitar tahun 1644, berdasarkan dokumen tertulis (Testamen Nyai Inqua). Dapat diduga sebelum kota pendudukan itu oleh Belanda diganti namanya menjadi Batavia, sudah dikenal Betawi sebagai nama suku bangsa. Bahkan kata Betawi sebagai nama tempat dan etnik, disebut dalam Babad Tanah Jawa.

Dalam buku karangan GJ. Fillet, Plaaantkundig Woordenboek van Nederlandsch – Indie, terbitan Amsterdan, J.H. de Bussy, 1888, kata Betawi merupakan nama pohon yang dalam bahasa Latin disebut Cassia glauca L. Dalam bahasa Melayu, kata ini artinya Gulingin Betawi. Dalam bahasa Betawi pohon ini namanya Ketepeng yang banyak tumbuh di pinggir sawah atau di sekitar pinggir kali. Itu sebabnya seniman masa lalu kerap mencipta karya berdasar nama tumbuhan, seperti Jali-Jali, Sirih Kuning, dll. Jadi saya berkesimpulan, kata betawi yang kemudian menjadi nama etnik/suku, berasal dari nama tumbuhan.

Nama Betawi mulai go internasional ketika Syech Juned menambahkan kata Betawi di belakang namanya menjadi, Syeh Juned Al-Batawi, ketika mukim di Mekkah tahun 1834. Syeh Juned Al-Batawi kemudian diangkat menjadi imam besar masjidil Haram. Nama Betawi menjadi kian terkenal dan menjadi brand atau merek dagang dari berbagai kalangan. Paling sedikit ada tiga surat kabar yang menggunakan nama Betawi, yaitu : Soerat Chabar Betawi (CV Lange, 1858), Bintang Betawi (Van Dorp & Co, 1900-1906), dan Berita Betawi (Perusahaan betawi, 1932/1933). Nama majalah pun banyak menggnakan nama Betawi.



Gambang Kromong
Gambang kromong dikenal sebagai musik tradisional Betawi. Wilayah budaya Betawi bukan hanya meliputi wilayah administratif DKI Jakarta saja, namun tersebar sampai ke Tangerang di sebelah barat, Bogor bagian utara di sebelah selatan, dan Bekasi di sebelah timur.



Gambang kromong sering ditanggap dalam suatu pesta perkawinan dan keraan lainnya. Pertunjukan Lenong bukan Lenong kalau tidak diiringi Gambang Kromong. Singkat kata Gambang Kromong selalu ditampilkan dalam berbagai acara budaya Betawi dan sudah menjadi trade mark kota Jakarta.

Awalnya lagu-lagu yang dibawakan oleh orkestra Gambang Kromong hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu pobin. Lagu-lagu pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di kampung halaman mereka di propinsi Hokkian di Cina selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar Gambang Kromong. Di antara lagu-lagu pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah pobin Khong Ji Liok, Pèh Pan Thau, Cu Tè Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa pobin lain yang khusus untuk mengiringi berbagai upacara (pernikahan, kematian).

Setelah lagu-lagu pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu dalem. Lagu-lagu dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Tionghoa. Di antara lagu-lagu dalem yang kini tinggal seorang penyanyi yang mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nori), Centèh Manis Berdiri.

Setelah generasi lagu dalem yang kini telah menjadi lagu klasik Gambang Kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing.

Lagu-lagu sayur sampai sekarang masih banyak yang mampu memainkannya, terutama di wilayah Tangerang. Di antaranya adalah: Kramat Karem (Pantun dan Biasa), Ondè-ondè, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkarèng, Kali Jodo, Jalan Kali dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, Jèngki dan Jalan), Pèrsi (Rusak dan Jalan), Centèh Manis, Balo-balo, Rènggong Manis, Akang Haji, Rènggong Buyut, Belenderan,Kudehel,Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Sirih Kuning.

Benjamin Sueb kemudian mempopulerkan musik gambang kromong. Lahirlah apa yang dikenal dengan gambang kromong modern.



Lenong
Sebelumnya masyarakat mengenal komedi stambul dan teater bangsawan. Hampir di semua wilayah Jakarta ada perkumpulan atau grup lenong. Lenong bukan cuma sekadar hiburan saja, tetapi juga sarana ekspresi perjuangan dan protes sosial. Lakonnya mengandung pesan moral, menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Hampir dalam semua lakonnya selalu muncul seorang yang berjiwa kesatria untuk membela rakyat kecil yang tertindas. Lenong ada dua jenis: preman dan denes.


Lenong denes menyajikan cerita-cerita kerajaan dan menggunakan bahasa Melayu tinggi. Dialog dalam lenong denes sebagian besar dinyanyikan. Adegan-adegan perkelahian dalam lenong denes tidak menampilkan silat, tetapi tinju, gulat, dan anggar (pedang).

Lenong preman kebalikan dari lenong denes. Lenong preman membawakan cerita drama rumah tangga sehari-hari, disebut juga lenong jago. Disebut demikian kerena cerita yang dibawakan umumnya kisah para jagoan, antara lain : Si Pitung, Jampang Jago Betawi, Mirah Dari Marunda, Si Gobang. Karena cerita yang dibawakan masalah sehari-hari, kostum/pakaian yang  digunakan adalah pakaian sehari-hari.

Gambang Rancag
Gambang rancag terdiri dari dua unsur, yaitu: gambang dan rancag. Gambang berarti musik pengiringnya dan rancag adalah cerita yang dibawakannya.

Gambang rancag berarti nyanyian yang menuturkan cerita rakyat Betawi dalam bentuk pantun berkait. Gambang rancag umumnya membawakan lakon jago, seperti : Si Pitung, Si Jampang, Si Angkri, dan lain-lain. Istimewanya lakon-lakon itu diubah menjadi pantun berkait. Lakon jago yang digubah menjadi pantun berkait dibawakan atau dinyanyikan oleh dua orang bergantian. Sama dengan berbalas pantun.

Gambang rancag bagi para pelakunya tidak hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan, tetapi juga sarana protes dan kritik sosial. Cerita-cerita jago yang dibawakan itu sebagai bentuk tidak langsung protes atau kritik itu. Tokoh Si Pitung yang merampok orang kaya yang rakus dan tuan tanah yang kejam, merupak sindiran tidak langsung bahwa orang kaya yang ada di sekitar mereka janganlah berbuat sewenang-wenang.

Dalam pegelaran gambang rancag selalu ada tiga bagian. Bagian pembukaan yang diisi dengan lagu instrumentalia disebut lagu phobin. Bagian ini berfungsi mengumpulkan penonton. Lagu-lagunya antara lain: Ma Tsu Thay, Kong Jie Lok, Phe Pan Tauw, Ban Kie Hwa, Phe Boo Tan, Ban Liauw. Bagian kedua diisi dengan menampilkan lagu-lagu hiburan. Lagu hiburan disebut juga lagu sayur. Bagian ini berfungsi sebagai selingan sebelum ngerancag dimulai. Jenis lagu sayur banyak sekali, misalnya : Cente Manis, Kramat Karem, Sirih Kuning, Glatik Nguknguk, Kudehel, Jali-Jali, Kue Mangkok, Renggong Manis, Siantan Landasan, Stambul, Stambul Bujuk, Stambul Bila, Stambul Caca, Stambul Jampang, Persi Rusak, Persi Jalan, dll. Bagian ketiga adalah bagian utama berupa rancag yang membawakan cerita panjang semalam suntuk. Lagu-lagu yang dibawakan untuk mengiringi merancag adalah : Dendang Surabaya, Gelatik Nguknguk, Persi, Phobin Jago, Phobin Tintin, dan Phobin Tukang Sado.

Keroncong Tugu
Keroncong Tugu dahulu sering disebut Cafrinho Tugu. Orang-orang keturunan Portugis (Mestizo) telah memainkan musik ini sejak tahun 1661. Ketika itu masih disebut keroncong asli. Kerena musik ini diperkenalkan oleh keturunan Portugis, jenis iramnya dipengaruhi unsur kesenian bangsa Portugis. Pengaruh Portugis itu dapat diketahui dari jenis irama lagunya. Misalnya moresko, frounga, kafrinyo, dan nina bobo. Dari irama lagu moresko kemudian lahir keroncong moresco.

Keroncong Tugu tidak jauh beda  dengan keroncong pada umumnya. Tapi juga bukan sama persis. Keroncong Tugu berirama lebih cepat. Irama yang lebih cepat ini disebabkan oleh suara ukulele yang memainkannya digaruk seluruh senanrnya. Berbeda dengan keroncong Solo atau Yogya yang iramanya lebih lambat.

Keroncong Tugu pada mulanya dimainkan oleh 3 atau 4 orang. Alat musiknya hanya 3 buah gitar, yaitu: gitar Frounga yang berukuran besar dengan 4 dawai, gitar Monica berukuran sedang dengan 3-4 dawai, dan gitar jitera yang berukuran kecil dengan 5 dawai. Syair lagu-lagunya kebanyakan masih menggunakan bahasa Portugis. Meskipun syair berbahasa Portugis, namun cara pengucapannya sudah terpengaruh dialek Betawi Kampung Tugu.

Selanjutnya alat musik Keroncong Tugu ditambah dengan suling, biola, rebana, mandolin, cello,  dan triangle (besi segi tiga). Dulu sering membawakan lagu berirama melankolis, diperluas dengan irama pantu, irama stambul, irama Melayu, langgam keroncong, dan langgam Jawa..

Irama lagu Keroncong Tugu hampir semuanya menggunakan ketukan 4/4. Seluruh nadanya menggunakan nada mayor. Irama lagu yang seprti ini membuat Keroncong Tugu bisa dipakai untuk menari atau berdansa. Tetapi ciri khas yang utam dari Keroncong Tugu adalah keroncong Moresco. Keroncong Moresco termasuk jenis irama yang paling tua. Bahkan dari jenis keroncong Moresco timbulnya keroncong pada umumnya. Dalam catatan sejarah, lagu keroncong yang pertama di Indonesia adalah Keroncong Moresco.

Keroncong Tugu masih sering pentas pada berbagai tempat dan kesempatan. Apakah pesta perkawinan, ulang tahun, persemian, jamuan makan, menyambut tamu asing, dan sebagainya.

Ondel-Ondel
Dulu namanya Barongan. Ketika Benjamin Sueb menciptakan dan mempopulerkan lagu Ondel-Ondel, maka mulai saat itulah dikenal nama Ondel-Ondel. Para ahli memperkirakan ondel-ondel sudah ada di Jakarta berabad-abad yang lalu. Pedagang dari Inggris, W. Scot, mencatat dalam bukunya jenis boneka seperti ondel-ondel sudah ada tahun 1605.

Ondel-ondel berbentuk boneka raksasa. Tingginya 2,5 – 3 meter. Rangka tubuhnya dibuat dari bambu. Garis tengah tubuhnya 80 cm. Wajahnya dibuat dari kayu. Matanya besar melotot. Rambutnya dibuat dari ijuk warna hitam. Agar lebih menarik di rambutnya diberi hiasan kembang kelape.

Ondel-ondel dibuat sepasang. Laki-laki dan perempuan. Diibaratkan seperti suami istri. Saat ini dibuat pula anak ondel-ondel. Ondel-ondel laki-laki wajahnya dicat merah. Diberi kumis melintang, jenggot, alis tebal dan cambang. Kadang-kadang dibuatkan caling. Ondel-ondel perempuan wajahnya dicat putih atau kuning. Diberi rias gincu, bulu mata lentik, dan alis lancip. Kadang-kadang dibuatkan tai lalat.

Bahan pakaian ondel-ondel masing-masing 10 meter. Pakaian ondel-ondel laki-laki biasanya warna gelap. Jenisnya pakaian pangsi. Untuk perempuan dipilihkan warna cerah motif polos atau kembang-kembang. Jenisnya baju kurung.  Keduanya mengenakan selendang.

Dahulu ondel-ondel dibuat untuk keperluan upacara.  Bentuknya yang raksasa dianggap memiliki kekuatan gaib. Kekuatan gaib ondel-ondel diyakini akan menjaga keselamatan kampung beserta isinya. Upacara bersih desa atau sedekah bumi selalu menampilkan ondel-ondel.

Ondel-ondel ditanggap untuk berbagai acara. Mengarak penganten sunat, perkawinan, peresmian, pawai, dan sebagainya. Dulu mereka juga suka ngamen. Terutama pada hari tahun baru masehi maupun imlek.

Ada acara yang harus dilaksanakan oleh seniman ondel-ondel. Acara itu adalah acara selamatan. Sebelum membuat ondel-ondel ada acara selamatan. Setelah  ondel-ondel selesai dibuat diadakan selamatan. Dan sebelum melaksanakan pertunjukan diadakan  selamatan. Selamatan disebut ngukup.  Dalam ngukup harus disediakan menyan, bubur merah putih, rujak tujuh rupa, kembang tujuh rupa, dan lain-lain.

Tarian ondel-ondel diiringi musik tabuhan ondel-ondel. Alat musiknya berupa  kendang, terompet, kenong, dan gong. Biasanya ondel-ondel main dari pagi sampai sore. Maka itu penari atau pembawa ondel-ondel dipilih yang kuat.

Tanjidor
Musik tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke 14 sampai 16. Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis ada kata tanger. Kata tanger artinya memainkan alat musik. Memainkan alat musik ini dilakukan pada pawai militer atau upacara keagamaan. Kata tanger itu kemudian diucapkan menjadi tanjidor.

Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya.

Sejarawan Belanda bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kompeni. Pada abad ke 18 kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa di luar kota Batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis.

Di villa-villa inilah terdapat orang-orang yang sengaja diminta secara khusus memainkan musik, khususnya musik barat. Alat musik yang mereka mainkan antara lain: klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bas drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Mereka bertugas menghibur tuannya saat pesta dan jamuan makan.

Musik tanjidor sangat jelas dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan antara lain: Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu tanjidor bertambah dengan membawakan lagu-lagu Betawi. Dapat dimainkan lagu-lagu gambang kromong, seperti: Jali-Jali, Surilang, Siring Kuning, Kicir-Kicir, Cente Manis, Stambul, dan Persi.

Tanjidor berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda.

Pada tahun 1950-an orkes tanjidor melakukan pertunjukan ngamen. Khususnya pada tahun baru masehi dan tahun baru Cina (imlek). Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke rumah. Lokasi yang dipilih biasanya kawasan elite, seperti: Menteng, Salemba, Kebayoran Baru. Atau daerah lain yang penduduknya memeriahkan tahun baru. Pada tahun baru Cina biasanya tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan sampai perayaan Capgomeh, yaitu pesta hari ke-15 imlek. Oleh pemerintah Orde Lama, kegiatan ngamen dilarang.

Orkes Sambrah
Sambrah berasal dari kata bahasa Arab, samarokh. Samarokh artinya berkumpul atau pesta dan santai. Kata samarokh oleh orang Betawi diucapkan menjadi sambrah. Dalam kesenian Betawi, sambrah menjadi orkes sambrah dan tonil sambrah serta tari sambrah.

Orkes Sambrah adalah ansambel musik Betawi. Instrumen musiknya antara lain : harmonium, biola, gitas, string bas, tamburin, marakas, banyo, dan bas betot. Dalam menyajikan sebuah lagu, unsur alat musik harmonium sangat dominan. Maka orkes sambrah disebut pula sebagai orkes harmonium. Orkes ini dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dalam berbagai acara. Terutama untuk memeriahkan resepsi pesta pernikahan.

Orang yang baru pertama mendengar lagu sambrah akan menyebutnya sebagai lagu Melayu. Memang umumnya lagu-lagu Melayu diadopsi sebagai lagu sambrah Betawi. Itu sebabnya orkes sambrah sangat dipengaruhi unsur Melayu.

Tujuan kehadiran orkes sambrah sejak awal untuk berkumpul sambil santai. Meski begitu lagu-lagu orkes sambrah berisi nasehat dan saling mencintai sesama makhluk.  Judul lahu orkes sambraha antara lain: Assamaualaikum, Buruh Putih, Cendrawsaih, Cik Abang, Godaan Syetan, Musalma, Nangka Muda, Pakpung Pak Mustape, Penyakit Cinta, Sawo Mateng, Sirih Kuning, Teluk Jakarta, Kicir-Kicir, Senandung Jakarta, Jali-Jali, dan sebagainya.

Orkes Sambrah mengringi pentas tonil sambrah. Tonil sambrah merupakan pengembangan dari teater bangsawan dan komedi stambul. Ia sudah muncul di Betawi sekitar tahun 1918. Tonil sambrah termasuk kesenian yang komplit: musik, pantun, tari, lawak, dan lakon. Seluruh pemain tonil sambrah umumnya laki-laki. Karena dalam pengertian mereka tidak boleh jika ada perempuan yang bergabung dengan laki-laki hukumnya haram.

Pada tahun 1940-an, khususnya pada masa pendudukan Jepang, tonil sambrah menghilang. Baru pada tahun 1950-an tonil ini muncul kembali, tetapi namanya menjadi Orkes Harmonium. Tonil sambrah sesudah kemerdekaan ini ditata lebih rapi. Dikemas seperti halnya persiapan pementasan teater. Pemain perempuan sudah diperbolehkan ikut meramaikan pementasan.


Buka Palang Pintu

Buka Palang Pintu adalah upacara yang dilaksanakan sebelum akad nikah. Upacara ini dahulu disebut nyapun. Nyapun artinya berkomunikasi dengan bahasa yang sopan dan santun. Bahasa yang sopan dan santu ini dimaksudkan untuk memelihara tali silaturahim yang sudah terjalin dengan baik. Oleh karena itu bahasa yang sopan dan santun disimbolkan dengan penggunaan pantun dalam dialong antar kedua belah pihak (pihak calon mempelai perempuan dan pihak calon mempelai laki-laki). Istilah nyapun kemudian berubah menjadu Buka Palang Pintu pada sekitar tahun 1970-an. Di beberapa wilayah budaya Betawi dikenal juga dengan upacara berebut dandang.

Ada tiga inti yang ingin disampaikan dalam upacara Buka Palang Pintu. Pertama, komunikasi yang sopan dan santun yang disimbolkan dengan pantun. Juru bicara kedua belah pihak berdialog dengan menggunakan pantun tidak dengan dialog sehari-hari. Hal ini untuk menghindari kata-kata yang fulgar atau kasar. Kedua, silat atau maen pukulan. Ini mensimbolkan kesiapan seorang calon penganten (khususnya penganten laki-laki) secara fisik. Seorang laki-laki Betawi yang ingin membangun rumah tangga, harus mampu melindungi istri, rumah tangga, lingkungan, bahkan negara dari kemungkinan kejahatan yang dilakukan oknum tertentu. Ketiga sike. Ini mensimbolkan kesiapan mental seorang lekaki Betawi jika ingin berumah tangga. Sike adalah salah satu jenis nagham atau irama dalam qiraat Quran yang sangat indah dan merdu. Namun dalam upacara Buka Palang Pintu, bacaan atau teks sike dapat berupa shalawat atau syair indah yang dibaca dengan suara merdu mendayu-dayu













Oleh Yahya Andi Saputra
(Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nih die Betawi dan Segala Bentuk Ekspresi Keseniannya (Bagian I)"

Posting Komentar