Perempuan Dalam Cerita Betawi | Oleh Yahya Andi Saputra


Pembuka

Diciptakan alam pria dan wanita
dua makhluk dalam asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut manja
 
Wanita dijajah pria sejak dulu
dijadikan perhiasan sangkar madu
namun ada kala pria tak berdaya
tekuk lutut di kerling wanita

Apa yang terbayang dari lirik lagu ‘Sabda Alam’ ciptaan Ismail Marzuki di atas? Tak lain, penindasan dan pembunuhan karakter perempuan. Sangat jelas, manakala lirik itu disangkutkaitkan dengan sudut pandang gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara perempuan dan laki-laki. Seperti diungkap Joanne Hollows, “kita sudah melihat yang ada di balik kebohongan laki-laki”[1].

Stereotip atau konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subyektif dan tidak tepat, dalam hal ini terhadap kaum perempuan, pada gilirannya mendulang kebencian, dendam, pergolakan, dan pemberontakan bak bola salju. Bayangkan saja, tiga “ur” (dapur, sumur, kasur) yang senantiasa dibelitkan pada leher perempuan adalah terror atas dominasi lingkungan, terutama kaum lelaki.

Joanne Hollow pantas menggeliat dan mengumpat secara ilmiah, karena kerangka berpikir alias paradigma yang menganggap bahwa fenomena alam, hewan, sama saja dengan fenomena manusia, sementara ilmu pengetahuan sosial yang berdimensi laki-laki bebas dari bias dan kepetingan. Lantaran begitu, pandangan, pengalaman, harapan kaum laki-laki tidak sama dengan pengalaman, harapan, dan pandangan kaum perempuan[2].

Teori feminis berusaha menganalisa berbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan berusaha menyelidiki beragam pemahaman kultural mengenai makna menjadi perempuan. Awalnya teori feminis diarahkan oleh tujuan politis gerakan perempuan, yakni kebutuhan untuk memahami subordinasi perempuan dan marjinalisasi perempuan dalam berbagai wilayah kultural maupun sosial. Kaum feminis menolak pandangan bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tak terelakkan. Mereka bersikeras bahwa ketidak setaraan tersebut harus dipertanyakan.

Bagaimana mempertanyakan ketidaksetaraan itu? Tentu dengan menelisik dan membongkar paradigma yang selama ini dianggap menjadi absolutitas dunia ilmu pengetauan. Para pejuang keperempuanan atau feminin mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan modern tidak terbebas dari pengaruh kepentingan, dominasi, dan suara kaum lelaki. Sudah tiba saatnya bahwa femininitas yang berangkat dari hasil olah pikir kaum lelaki, dimasukkan saja ke dalam tong sampah. Kaum perempuan ingin mengembangkan suatu teori yang berangkat dari pengalaman dan kondisi kaum perempuan serta berbagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabatnya sendiri. Tiga hal, mengapa itu penting dikembangkan. Pertama, gender adalah konstruksi sosial yang hanya menguntungkan lelaki; kedua, dominasi lelaki dan lembaga sosial telah menjai dasar bagi konstruksi terhdap perempuan; ketiga, pengetahuan dan pengalaman perempuan harus dilibatkan untuk mengembangkan masyarakat nonseksis di masa yang akan datang[3].

Namun apakah perjuangan kaum perempuan itu dapat dijadikan pisau bedah atas beragam teks yang ada di ranah sastra tradisional? Marilah kita lihat beberapa teks atau wacana dalam cerita rakyat Betawi.

NYAI DASIMA-2Cerita Rakyat Betawi

Cerita rakyat Betawi adalah kisah-kisah atau berbagai cerita yang hidup di tengah masyarakat Betawi dan dipelihara oleh masyarakt pemiliknya sebagai kekayaan tradisi secara turun-temurun. Ia berfungsi sebagai media penyampai pesan kebaikan, protes, pewarisan nilai, dan hiburan[4].

Dugaan saya, cerita rakyat Betawi kian masip kemunculannya pada era kejayaan tuan tanah alias tanah partikelir. Data yang saya peroleh, terdapat tidak kurang dari 270 lokasi kepemilikan tanah partikelir di Batavia, Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi, dan Karawang[5]. Berarti hampir seluruh kawasan tempat tinggal orang Betawi dikuasai oleh tuan tanah yang bebas menerapkan kebijakan untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Cuke atau pajak yang besar diperkuat dengan haartzai artikellen, hukum karet, adalah senjata intimidasi paling ampuh. Jelas hamba wet (hukum) dengan seluruh kaki tangannya berpihak kepada kuasa. Rakyat adalah sapi perahan dan korban.

Dalam kondisi hidup segan mati tak mau, tersembul kekuatan perlawanan atas dominasi kuasa. Pemimpin informal dan seniman bermunculan dengan kemampuannya masing-masing. Perlawanan petani yang dipimpin oleh dedengkot masyarakat bermunculan. Kita saksikan kemudian bagaimana Rama memimpin pemberontakan petani di Tambun, Bekasi (1880-an), Pitung (wafat 1894), H. Entong Gendut, Condet (1916), Kai’in Bin Kayah, Tanah Tinggi, Tangerang (1924), dan lain-lain.

Seniman pun menghasilkan inovasi perlawanan dalam bentuk estetis. Dari seniman muncul bermacam-macam kisah pemberani, tari, nyanyi, lakon, dan ekspresi lainnya yang rupa perlawanannya dibungkus dalam jalinan kata penuh bunga. Kisah-kisah itu dipertahankan dan diwariskan secara lisan.

Dalam khasanah cerita rakyat Betawi, bertebaran teks yang berkisah tentang perempuan. Sebut saja misalnya, Ariah alias Mariam Si Manis Jembatan Ancol, Nyai Dasima, Mirah Singa Betina dari Marunda, Jenab dan Buaya Buntung, Nona Bong, Jampang dan Mayangsari, Aki dan Ne Bontot, Bang Maman dari Kali Pasir, Ci Siti, Rosina, Saida, dan lain sebagainya. Di tengah masyarakat pemiliknya, cerita rakyat itu dipelihara dan diwarisi turun-temurun melalui berbagai cara. Mulai dari tukang cerita atau sohibul hikayat, lenong, topeng, koreografer, lukis, film, sinetron, atau sekadar dijadikan bahan obrolan di pos hansip atau pos kamling.

Sebagai cerita rakyat, tentu sebagian besar masuk ke dalam tradisi lisan. Dari tradisi lisan itu kemudian diturunkan ke dalam teks beraksara alias tulisan. Dari yang sudah dialihwahanakan itu pun, hanya sebagian kecil penyalin yang dengan sengaja dan sadar mencantumkan namanya sebagai penyalin. Salah satunya adalah kisah kehidupan Nyai Dasima. Kisah Dasima, perawan bahenol dari kampung Ciseeng, Parung, Bogor, ini pertama kali ditulis oleh G. Francis dan diterbitkan tahun 1896. Kita boleh saja berasumsi, bahwa Francis menyalin kisah Dasima lantaran kepopuleran cerita ini di tengah masyarakat. Para seniman teater tradisional, khususnya lenong dan sohibul hikayat, agaknya yang paling tinggi apresiasinya pada kisah Dasima ini.

Seniman tradisionallah yang pada akhirnya paling berjasa atas kebertahanan hidup cerita rakyat yang disebutkan di atas. Cerita Ariah alias Mariam Si Manis Jembatan Ancol, Mirah Singa Betina dari Marunda, Jenab dan Buaya Buntung, Nona Bong, Jampang dan Mayangsari, Aki dan Ne Bontot, Bang Maman dari Kali Pasir, Ci Siti, Rosina, Saida, menjadi cerita atau lakon pilihan bagi pementasan teater tradisional yang berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya.

Wajah Perempuan

Saya tidak dapat menaksir-naksir apakah cerita Ariah  (sering disebut Mariam Si Manis Jembatan Ancol), Mirah Singa Betina dari Marunda, Jenab dan Buaya Buntung, Nona Bong, Jampang dan Mayangsari, Aki dan Ne Bontot, Bang Maman dari Kali Pasir, Ci Siti, Rosina, Saida, dan lain sebagainya diciptakan oleh lelaki atau perempuan. Sebab tak ada petunjuk atau kolofon yang mengarahkan untuk dapat pijakan atau sekadar dugaan berpendapat yang diterima sebagai dasar[6]. Maka anggap saja cerita-cerita di atas tercipta dari sebuah kesepakatan atas dasar kebutuhan uptodate pada waktu yang bersangkuta. Tak soal, apakah ia menggelontor dan menjelma dari kepala perempuan atau kepala seorang lelaki.

Apabila secara seksama ditelusur alur dan tokoh – penokohan, maka wajah perempuan dalam cerita rakyat Betawi merupakan sosok yang kuat, penyayang, pejuang, pembela yang benar pelawan kebatilan, meski berada dalam kangkangan atau dominasi lelaki. Lihat saja bagaimana kiprah Mirah, Jenab, Mayangsari, Ne Bontot, Ci Siti, dan lai-lain yang menjadi tokoh utama dalam cerita rakyat itu. Mereka tampil menjadi sosok utuh sebagai perempuan. Kuat, tabah, tegas, tegar, sabar, memberontak, meski intimidasi lingkungan bersosok phallocentric menelikung ruang gerak mereka setiap saat.

Dalam cerita Ariah, misalnya, dapat dilihat bagaimana tegarnya sosok Ariah, seorang perawan kampung yang miskin namun cakep, dalam mengarungi gelombang hidup. Begini cerita singkat Ariah.

Ariah, biasa juga dipangil Arie, anak kedua Mak Emper. Ariah mempunyai seorang kakak perempuan. Tatkala kakak beradik ini masih kecil, ayahnya meninggal. Hancurlah kehidupan tiga hamba Allah dari kampung Sawah, Kramat Sentiong. Ini terjadi sekitar tahun 1860.

Menjadi adat orang Betawi jaman dulu, siapa yang kaya menolong yang miskin. Seorang saudagar padi  di kampung Kramat yang mempunyai sawah  luas mengajak Mak Emper dan kedua anak perempuannya tinggal di emperan rumahnya. Emperan ialah bangunan rumah kecil yang berdiri menempel pada bangunan rumah besar.

Mak Emper dan kakak Ariah membantu menumbuk padi milik saudagar itu. Ariah sehari-hari mencari kayu bakar, sayuran dan telur ayam hutan di hutan Ancol. Tahun demi tahun berlalu, kehidupan Mak Emper datar saja. Tidak kelaparan, tetapi sangat jauh untuk dikatakan berada. Keluarga ini memang sudah harus menerima stempel miskin sitematis dan struktural.

Ariah tumbuh sebagai gadis cantik. Hati saudagar tertarik akan kecantikan Ariah. Ariah dipinangnya. Mak Emper sangat bingung, mengingat ia tinggal menumpang pada saudagar itu, sedangkan saudagar itu telah pula beristeri. Ariah tentu menolak lamaran saudagar tua itu. Tolakan itu bukan saja lantaran ia ogah dimadu alias dipoligami, namun juga lantaran ogah ngelangkahin (mendahului menikah) empoknya.

“Arie kagak bakalan kawin sama saudagar yang punya rumah ini. Mpok ‘kan belum kawin. Lagian  apa kata ibu yang  rumahnya kita tumpangin? Ape bole lantaran kite miskin kite jual semue hak kite termasuk perasaan. Biar kite miskin, Pok, kite kudu jaga perasaan.”

Seperti biasa, pagi-pagi Ariah meninggalkan rumah untuk mencari kayu bakar, sayur-sayuran, dan telur ayam hutan. Tetapi tidak seperti biasanya, pagi hari itu sebelum meninggalkan rumah Ariah mencium tangan Mak dan kakaknya  lama sekali, serta memandang wajah mereka tak putus-putusnya. Dan tanpa mengucapkan sesuatu perkataan ia  berlalu dari emperan rumah.

Ariah berjalan menuju  Ancol dengan langkah yang enteng. Ia melihat-lihat pekerja yang sedang membuat jalan kereta api. Langkah dilanjutkan menuju utara. Setibanya di sebuah tempat yang bernama Bendungan Melayu, Ariah membuka timbelnya. Ia makan dengan lahap. Ariah duduk termangu sambil merapihkan bekas makannya. Dari kejauhan ia mulai mendengar debur ombak. Hari telah sore.

Ariah bangkit melanjutkan perjalanannya. Bendungan Melayu ditinggalkannya. Ia tiba di Ancol. Hari semakin gelap. Laut terhampar di hadapannya. Ia tak ingin kembali pulang, tapi juga tak tahu kemana lagi harus melangkah.

Tiba-tiba dua orang berbaju serba hitam menghampiri Ariah. Kedua lelaki itu langsung mengurung Ariah dengan memamer tampang sangar. Mendapat intimidasi seperti itu, Aria tentu kaget. Dengan sigap kedua lelaki itu menyambar tangan Ariah. Ariah reflek melawan sehingga cengkeram kasar lelaki itu lepas. Dan dua sabetan golok mengakhiri hidup Ariah.

Kedua laki-laki itu yang ternyata Pi’un dan Sura  setelah membunuh Ariah menggotong jenasah Ariah ke pinggir laut. Jenasah gadis malang itu dilemparkannya.

Pi’un dan Sura adalah kaki tangan seorang pemuda kaya raya bernama  Tambahsia. Tambahsia bertabiat buruk. Ia mempunyai kesenangan memperkosa perempuan di villanya di Ancol yang bernama Bintang Mas.  Tugas Pi’un dan Sura  mencari perempuan untuk dimangsa majikannya.

Malam hari sepeninggalnya Ariah,  Mak Emper dan kakak Ariah tidak tidur, menunggu pulangnya Ariah. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun mereka menunggu. Dan Ariah tak pernah kembali.

Pada suatu malam Mak Emper duduk bersedih memikirkan kakak Ariah yang dilamar orang. Meski biaya pesta perkawinan menjadi tanggungan keluarga calon suami, tetapi sebagai orang tua Mak Emper merasa berkewajiban untuk menyiapkan  makanan menyambut calon besan dan calon menantunya yang akan datang ke rumahnya untuk mengajukan lamaran secara resmi. Lelah berpikir,  Mak Emper tertidur. Dalam tidur Mak Emper bertemu Ariah. Ariah berjanji akan membahagiankan ibunya. Ketika esok paginya Mak Emper bangun, ia sangat terkejut melihat di depan rumahnya  terdapat berpikul-pikul ikan laut  serta sayur mayur.

Begitulah kisah Ariah. Di jaman sekarang orang menyebut dia Maria, Mariah, atau Mariam. Boleh dikatakan tidak ada gadis Betawi jaman dulu bernama Maria, Mariah, atau Mariam. Juga di jaman sekarang orang mengatakan Ariah menjadi setan Ancol. Ariah tidak menjadi setan. Ia adalah pejuang perempuan yang mempertahankan martabat dan harga dirinya. Ia gugur sebagai pejuang yang mempertahankan kehormatan dan harga diri perempuan. Ariah, perempuan  yang  teguh  pendirian.

Kematian Ariah memang akhirnya menjadi dongeng. Banyak orang Betawi pesisir yakin bahwa Ariah,  yang diberi nama julukan  si Manis,  itu menjadi penguasa laut Utara. Dan banyak orang Betawi pesisir yang tidak menyebut nama aslinya, melainkan si Manis saja. Diyakini si Manis mempunyai pengawal yang gagah berani. Pengawal itu adalah makhluk dari alam lain. Mereka adalah si Kondor, yaitu siluman monyet, si Gempor dan si Gagu.

Tema utama dalam cerita Ariah adalah harga diri dalam kaitan ini harga diri seorang perempuan yang melakukan perlawanan terhadap dominasi lelaki. Dengan tema itu, pengkisah atau pengarang memberikan kekuatan dan kesatuan pada peristiwa yang digambarkan dan mengungkapkan sesuatu kepada pendengar atau pembaca tentang kehidupan pada umumnya. Tema, menurut Boen S. Oemarjati, persoalan yang telah berhasil menduduki tempat yang kahs dalam pemikiran pengarang dengan visi, pengetahuan, imajinasi, dan emosi menjurus pada suatu penyelesaian. Dalam tema, terimplisit tujuan cerita, tetapi bukan tujuan itu sendiri[7].

Ariah, dalam pandangan feminisme, adalah perempuan korban struktur sosial kolonial. Ia ingin mengembalikan posisinya, mempertahankan jati diri, dan harga dirinya dengan memberontak terhadap cara hidup serakah bentukan kolonial.

Ariah adalah perempuan perkasa, rendah hati, membebaskan dan melindungi keluarga dari dominasi kuasa. Ariah membangkitkan jati dirinya sebagai perempuan bermartabat, manusia bebas yang megepalkan tangan pada  jaman keemasan kolonial dengan capital yang angkuh. Ariah mampu membimbing pembebasan diri dari sistem feodal kolonial.

Ariah memang rekaan belaka, tetapi nilai dan citra Ariah mencuat sebagai prototipe perempuan yang dengan kekuatan dan ketabahan hati tampil membebaskan diri dari intimidasi lelaki. Ariah yang ketika ketidakadilan merajalela maju untuk merendahkan dominasi kaum kuasa.
Penutup

Dalam proses perjalanannya, tradisi Betawi menerima masukan luar yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan tradisi lain. Hal ini mengingat fungsi pelabuhan Kalapa yang dikunjungi oleh pelbagai bangsa.

Kini kota yang didiami oleh komunitas Betawi telah mengemban multi fungsi apalagi dalam era globalisasi informasi. Perubahan-perubahan dalam masyarakat ibukota berjalan dengan cepat. Sementara itu generasi penutur dan pelaku folklore Betawi yang masih dekat hubungannya dengan “sumber” sudah semakin habis ditelan usia.

Melihat posisi cerita rakyat Ariah dalam konteks feminisme, dengan sendirinya kian memberikan pemahanan makna strategis cerita rakyat dalam kekinian teaori ilmu susastra. Proses dan metamorfosa feminisme telah mendorong kaum perempuan untuk mendobrak pintu hegemoni kekuasaan laki-laki. Sebagian kecil perempuan, telah merambah dunia kaum lelaki untuk berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Begitu pun kaum perempuan telah mensejajarkan dirinya dalam bidang kedokteran, hukum, universitas, dan akhirnya dunia politik. Tak sedikit perempuan yang menjadi pilot, sopir, penebang kayu, tukang ledeng, tentara, pialang bursa saham, peneliti sains, menejer, dan pekerja media.

Perempuan yang bekerja di ranah-ranah yang dikuasai oleh laki-laki harus berhadapan dengan sikap permusuhan, diskriminasi dan laki-laki yang merasa bahwa pekerjaan mereka akan berkurang jika perempuan dibiarkan mengerjakannya. Perempuan berhadapan dengan ejekan-ejekan yang memusuhi dan pelecehan seksual. Perempuan-perempuan di banyak bidang pekerjaan telah membangun jaringan-jaringan pendukung bagi dirinya sendiri. Kelompok-kelompok perempuan dalam serikat-serikat buruh mengadakan rapat-rapat informal untuk berbagi persoalan yang mereka hadapi dan melakukan tekanan demi perbaikan kondisi. Implementasi teori feminisme bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan.

Namu menurut saya, perjuangan kesetaraan gerder kaum perempuan Indonesia masih amat beratnya. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya kemajuan media dan informatika, telah menjadi santapan rutin kaum perempuan perkotaan, untuk sebagian besar perempuan pedesaan masih merupakan barang mewah yang seolah-olah muncul dari negeri antah-berantah. Tak terjangkau. Ini merupakan ironi kaum perempuan Indonesia.

Sementara itu, teks atas penampilan perempuan di ruang publik, mengesankan amat bangganya perempuan menjadi obyek eksploitasi kapitalis. Perempuan cantik bertubuh montok sintal tinggi semampai, kerap dijadikan umpan. Dengan dalih memasarkan praduk baru, tubuh perempuan dieksploitasi, dipertontonkan dalam berbagai media pemasaran. Padahal sesungguhnya produk yang dimaksud tidak ada kaitannya dengan perempuan. Rasayanya, perempuan amat sangat menimati peran eksploitatif itu. Ini merupakan ironi kaum perempuan Indonesia.

Jika ironi demi ironi itu menjadi makanan sehari-hari kaum perempuan Indonesia, maka upaya gerakan kaum feminis Indonesia tidak akan pernah dapat membumi. Alih-alih mampu mendobrak tatanan sosial androsentris, perjuangan itu justru hanya akan memperbesar peluang dominasi dan penindasan lelaki atas perempuan.

Perlu kesadaran dan gerakan meneruskan rintisan jalan menaikkan kembali citra Ariah dari eksplotasi kehinaan ke singgasananya yang mulia dan mengandung kearifan untuk diteladani. Saat ini, setelah lebih dari 153 tahun cerita Ariah, sangat sering kita dengar Ariah modern – perempuan cantik, berpendidikan, modis, sosialita – tiba-tiba  ngegeloso alias jatuh duduk atas iming-iming kuasa laki-laki hidung belang. Bertekuk lutut pada tawaran gaya hidup yang diciptakan oleh kekuatan modal lelaki. Lalu dimana mereka letakkan feminisme itu?

Oleh Yahya Andi Saputra

Referensi
  • Elfira, Mina, 2012. Sastra dan Masyarakat Rusia, Jakarta : Padasan.
  • Lubis, Dr. Akhyar Yusuf,  2012/2013. Teori Kritis, Postrukturalisme dan Postmodernisme : Pengarunya pada kajian Sosial-Budaya Radikal. Materi Kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta: Departemen Filsafar FIB UI.
  • Oemarjati, Boen S., 1962. Roman Atheis : Satu Pembitjaraan. Djakarta : Gunung Agung.
  • Rueda, Marisa, Susan Alice and Marta Rodriguez. 2007. Feminsime Untuk Pemula. Yogyakarta : Resist Book.
  • [1] Dr. Akhyar Yusuf Lubis, “Teori dan Metodologi Kajian Perempuan Sebagai Dekonstruksi Terhadap Hegemoni Androteks dan Konstruksi Ginoteks”, dalam Teori Kritis, Postrukturalisme dan Postmodernisme : Pengarunya pada kajian Sosial-Budaya Radikal. Materi Kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.Jakarta Departemen Filsafar FIB UI 2012/2013, hlm. 1 – 44.
  • [2] Ibid, h. 10-11. Gerakan perempuan secara perlahan tumbuh menjadi suatu kekuatan politik besar, yang menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika Utara. Ada tiga gelombang atau tahap dalam gerakan perempuan; gelombang pertama yang dimulai pada abad ke 15 hingga abad ke 17, gelombang kedua yang dimulai pada akhir abad ke 17 hingga akhir abad ke 19, dan gelombang ketiga yang dimulai pada akhir abad ke 19 hingga sekarang.
  • [3] Ibid, h. 26.
  • [4] Saya meminjam pendapat Alan Swingewood yang mengungkap bahwa karya sastra adalah dokumen sosial budaya, meski yang bersangkutan – mungkin – tidak memaksudkan pendapatnya pada cerita rakyat yang kebanyakan anonim. Lihat Mina Elfira, Sastra dan Masyarakat Rusia, Jakarta : Padasan, 2012, hal. 215.
  • [5] G. de Beus, Ambtenaar Ned. Ind. Spoorweg-Mij.,  Plaatselijk Woordenboek van Java en Madoera, Bevattende Apphabetische Naamlijst van de Voornaamste Plaatsen en van alle Landbouwondernemingen op Java en Madoera, met Gegevens Betreffende den Post-, Telegraaf-en Telefoondienst, Ligging ten Opzichte van Spoor en Tramwegen, Logeergelegenheden, Vervoermiddelen, enz.  1e Uitgave, Amsterdam : Uitgever J. H. de Bussy, 1912
  • [6] Kolofon adalah “catatan tambahan” di akhir teks—bukan bagian teks inti— sebagai informasi seluk beluk penyalinan, antara lain siapa yang menyalin, atas perintah siapa, kapan penyalinan dilakukan, dan tempat penyalinan; walaupun informasi tidak harus selengkap itu.
  • [7] Boen S. Oemarjati, Roman Atheis : Satu Pembitjaraan. Djakarta : Gunung Agung, 1962, hal. 54.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perempuan Dalam Cerita Betawi | Oleh Yahya Andi Saputra"

Posting Komentar