Serial KH. Noer Alie - Pahlawan Nasional dari Tanah Betawi (Bagian VI) | Oleh Ali Anwar

Komandan Batalyon Hizbullah

Akhir 1945 dibentuk kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada partai politik. Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) membentuk badan perjuangan Hizbullah. Saat itu Komandan Resimen Hizbullah Bekasi Angkut Abu Ghozali menunjuk KH Noer Alie sebagai Komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi.

Saat beberapa kesatuan bersenjata berebut haluan pertahanan, KH Noer Alie yang mengkhawatirkan perpecahan menyatukan badan-badan perjuangan dalam wadah Laskar Rakyat Bekasi. Namun wadah koordinasi pertahanan yang dibentuk 6 Januari 1946 itu terpaksa ia tinggalkan. Karena “garis merah” mendesaknya agar Laskar Rakyat Bekasi bergabung ke dalam Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka yang bersikap konfrontatif kepada pemerintah.

Kekhawatiran KH Noer Alie akan tercerai-berainya kesatuan yang bakal melemahkan perjuangan, terbukti. Di sejumlah tempat, seperti Tambun dan Karawang terjadi pertempuran antara badan perjuangan dengn TNI. Kelemahan pihak Republik Indonesia ini pula yang kemudian dimanfaatkan Belanda untuk melakukan agresi militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Pertahanan Indonesia mulai Bekasi, Tambun, Cikarang, Karawang, sampai Cikampek bobol. Badan-badan perjuangan yang belum sempat melebur ke dalam TNI, tercerai-berai tanpa pimpinan yang kuat.

KH Noer Alie yang sebelum Agresi Militer I memutuskan tidak aktif di militer, terpanggil kembali jiwa juangnya untuk mempertahankan Republik Indonesia. Namun, Belanda melarang siapa saja yang menggunakan uniform TNI. Pasukan bersenjata diburu dan dilucuti. Pemerintahan diambil alih, lantas ditempatkan pejabat yang berpihak kepada Belanda. Sehingga Pemerintahan Republik Indonesia pada tingkat local lumpuh secara de facto (fakta) maupun de jure (hukum).

Memang, dalam kondisi tersebut masih ada pergerakan pasukan TNI setingkat kompi dibawah kendali Mayor Lukas Kustaryo. Namun, Lukas mengakui pasukannya tidak berdaya. Anggotanya tinggal belasan orang, tanpa memakai uniform TNI.

Untuk menghindari sergapan Belanda, Lukas harus berpindah dari satu kampung ke kampung yang lain, dan berlindung kepada sahabatnya yang juga tokoh kharismatis setempat, KH Noer Alie.

Hancurnya pertahanan membuat moral masyarakat menurun. Kepercayaan terhadap pejuang merosot. Sementara Belanda terus menerus melakukan propaganda agar seluruh rakyat berpihak kepada Belanda, sekaligus melemahkan posisi Indonesia. KH Noer Alie yang tidak rela Tanah Airnya dikuasai penjajah, mengatur strategi untuk meningkatkan moral Indonesia. Maka, dia menghimpun orang-orang kepercayaannya untuk melakukan musyawarah darurat di Wadas, Karawang.

Musyawarah memutuskan untuk menyusun kembali kekuatan Indonesia, melakukan perlawanan bersenjata, membangkitkan dan merawat moral rakyat agar tetap berpihak kepada Indonesia. Bentuk perlawanannya secara gerilya, perang urat syaraf (psywar), dan propaganda.

Musyawarah memutuskan agar sebelum membentuk pasukan perlawanan, KH Noer Alie harus meminta pandangan terlebih dahulu kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Mereka juga ingin menunjukkan, meski pertahanan Indonesia telah porak-poranda, namun masih ada perlawanan di sekitar Jakarta dan Jawa Barat.

Ketika pasukan Belanda sudah sampai di Kosambi, Karawang, KH Noer Alie bersama lima anak buahnya (Mahmud Maksum, Ahmad Djaelani As’ari, M. Zainuddin Mughni, Hasan Dagang, dan seorang dari Kosambi) berangkat menuju Yogyakarta menggunakan kereta api.

Setibanya di Yogyakarta, rombongan KH Noer Alie yang sempat menginap didekat Keraton Yogyakarta, mencoba menemui Jenderal Soedirman. Namun Jenderal sudah tidak ada di tempat. Akhirnya KH Noer Alie diterima wakilnya, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Pada kesempatan itu dia menceritakan keadaan front Jakarta Timur dan Jawa Barat yang telah porak –poranda.

Kemudian KH Noer Alie meminta pandangan langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo memerintahkan KH Noer Alie agar melakukan perang gerilya, dengan menggunakan nama pasukan badan-badan perjuangan, tidak menggunakan nama dan uniform TNI.

Pertimbangannya, kalau menggunakan nama TNI, secara politis dan militer akan mengalami hambatan besar secara langsung serta mudah dipatahkan Belanda. Pemikiran Letnan Jenderal Oerip tampaknya sesuai dengan alur pemikiran KH Noer Alie dan rekan-rekannya.

Setelah mendapat perintah untuk menyusun pasukan, KH Noer Alie segera kembali ke Karawang dan Bekasi. Kali ini mereka berjalan kaki, karena sarana transportasi kereta api dan jalan araya sudah dikuasai Belanda. (KH-NoerAlie.info)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Serial KH. Noer Alie - Pahlawan Nasional dari Tanah Betawi (Bagian VI) | Oleh Ali Anwar"

Posting Komentar