Tradisi Seru di Betawi Saat Musim Haji


Selain Idul Fitri, lebaran yang juga paling diramaimeriahkan orang Betawi adalah lebaran aji  atau hari raya Idul Adha alias Idul Kurban. Lebaran ini menandakan saat wukuf di Padang Arafah (10, 11, dan 12 bulan Dzul Hijjah) bagi jemaah haji dari seluruh dunia.

Dua hari sebelum lebaran aji, orang Betawi berpuasa sunnah yang disebut puasa hari Tarwiyah dan hari Arafah yaitu tanggal 8 dan 9 Dzul Hijjah. Selain berpuasa sunnah mereka yang termasuk orang mampu menyiapkan pula hewan kurban berupa kambing, sapi, atau kerbau yang diserahkan kepada ketua masjid untuk nanti disembelih dan didistribusikan dagingnnya kepada fakir-miskin.

Tiap orang sebenarnya dianjurkan memotong hewan kurban sekali dalam hidupnya. Ukuran kurban adalah seekor kambing untuk satu orang. Seekor sapi atau kerbau untuk tujuh orang. Pemotongan hewan kurban ini dilaksanakan setelah shalat Idul Adha sampai sebelum zuhur tanggal 12 Dzul Hijjah. Jika ada hewan yang belum dipotong, dilanjukan dua hari berikutnya. Bagi orang yang berkurban ada dua ketetapan yaitu kurban yang wajib dan kurban yang sunnah. Jika saat penyerahan hewan kurban diijab-kabulkan dengan menyebut kurban yang wajib, maka ia tidak berhak atas daging kurban. Namun jika disebutkan kurban yang sunnah, maka ia boleh dapat atas daging hewan kurban yang diserahkannya.

Lebaran aji memang tidak diawali dengan hiruk-pikuk seperti halnya Idul Fitri. Idul Fitri adalah puncak dari pelaksanaan kewajiban beribadah puasa selama sebulan. Sementara itu Idul Adha adalah proses yang menggenapi pelaksanaan rukun Islam, yaitu rukun Islam yang kelima. Adapun puasa sunnah hanya dikerjakan oleh orang-orang yang tidak  melaksanakan ibadah haji.

Pelaksanaan ibadah haji bagi orang Betawi memiliki arti penting dan sakral. Orang Betawi yang islamis menyadari betul makna melakukan ibadah haji, yaitu menyempurnakan rukun Islam. Untuk sampai pada tahap mampu melaksanakan ibadah haji, tentu saja proses panjang telah dilaluinya. Ia merupakan keluarga yang mapan, artinya jika ada niat melakukan ibadah haji, ia tak bermasalah. Ia tak akan menyengsarakan diri dan keluarganya. Persiapan materil dan spirituil tak diragukan lagi. Ia pastilah orang kaya, meski profesinya sebagai petani, pedagang, atau lainnya. Atau ia pasti seorang yang tekadnya sangat besar untuk melaksanakan ibadah haji, meski status social ekonominya tidak terlalu tinggi.

Kita ketahui bahwa biaya ongkos naik haji tidak murah. Belum lagi berapa bekal yang harus ada di kantong atau berapa rupiah yang harus ditinggalkan untuk biaya hidup keluarga di Jakarta. Tahun 1960-an atau 1970-an, ketika harga tanah merangkak naik, beberapa orang Betawi tergoda dan menjual tanahnya. Salah satu hasil penjualan tanah itu dibelikan qutum. Qutum adalah istilah yang artinya sama dengan tiket pergi haji. Bagi orang Betawi, telah tertanam melekat dalam jiwanya semangat melaksanakan perintah agama dengan sempurna. Harta benda, apapun jenisnya, tidak akan dibawa mati. Amal shalehlah yang senantiasa setia mengikuti kita sampai kemanapun. Segale harta bende nggak bakalan dibawa mati, begitu pepatahnya.



Sahara dan Nitip Foto

Dulu orang yang akan melaksanakan ibadah haji – orang Betawi menyebutnya pegi belayar karena berangkat dan pulang dengan kapal layar – dianggap sebagai orang yang sudah dimiliki oleh Allah. Keluarga atau orang-orang di kampung sudah memaafkan, mengikhlaskan, dan meridlakan kepergiannya layaknya kepergian jenazah. Itu sebabnya orang Betawi melepas keberangkatan beribadah haji dengan ekspresi kepasrahan dan suasana yang sakral. Bukan tangisan biasa yang terdengar tapi juga sampai ngegeloso seperti anak kecil minta maenan atau bahkan ada yang pingsan. Karena dianggap perjalanan hidup-mati lagi pula memakan waktu yang cukup lama (6 bulan pergi-pulang menggunakan kapal laut), maka dilepas dengan pembacaan shalawat dustur  kemudian diazankan dan diiqomatkan. Karena mengunakan kapal laut maka perlengkapan yang dibawapun tidak tanggung-tanggung. Ada yang bawa cobek lengkap dengan isinya. Ada yang bawa ikan gabus kering atau dendeng. Tidak dilupakan pula duit gobangan untuk kerokan. Pokoknya apapun dapat dibawa. Semua itu dimasukkan ke dalam kotak besar yang disebut sahara.

Sebelum berangkat orang yang akan menunaikan ibadah haji melaksanakan acara yang disebut pertemuan haji. Sanak-saudara dan tetangga diundang untuk maulid, tahlilan, mendengarkan ceramah ibadah haji dan makan bersama. Pada acara itu para tamu biasanya memberikan bekal berupa uang, apakah uang itu nantinya dibawa atau ditinggalkan untuk kebutuhan keluarga di rumah. Ada juga kekhasan lain yang barangkali tidak dilakukan di tempat lain yaitu berupa menitipkan pas foto kepada orang yang akan berangkat haji. “Tulung, ye, saye nitip foto. Kalu ude nyampe di Masjidil Haram hoto saye diselipin di dalem Qur’an. Biar orangnye belon nyampe, tapi fotonye pan ude. Ngkali aje taon depan dapet panggilan.”  Begitu permohonan tamu kepada jemaah haji yang akan berangkat. Permohonan itu tentu saja dikabulkan sehingga wajah sang pemohon berseri-seri.

Keberangkat jamaah haji diantar keluarga dan tetangga sekitar. Dulu jamaah haji diantar sampai karantina (PHI, asrama haji) di Cempaka Putih. Pada masa lebih terdahulu lagi, Pulau Onrust juga digunakan sebagai salah satu tempat karantina jemaah haji. Ketika masih berada di karantina pihak keluarga masih datang untuk menjenguk pagi dan sore. Jika saat keberangkatan ke pelabuhan Tanjung Priok telah tiba, pihak keluarga akan ikut mengantarnya pula. Pihak pengantar inilah yang justru sangat sibuk dan membuat suasana jadi kelihatan haru. Terkadang dalam satu kampung yang berangkat haji cuma dua orang, tapi orang sekampung ikut mengantarkannya sampai ke pelabuhan Tanjung Priok.

Pelaksanaan ibadah haji saat ini sudah sangat didukung oleh  peralatan canggih, selain peraturan atau larangan yang macam-macam. Waktunyapun sangat singkat sehingga kesan yang ditimbulkannya pun biasa-biasa saja. Semua peraturan itu bertujuan memberi kemudahan bagi jamaah haji dan selayaknya ditaati.



Ditahlilin

Selama pelaksanaan ibadah haji itu keluarga yang ditinggalkan di rumah hanya berharap-harap cemas, apakah ayah-ibunya atau familinya selamat dalam melaksanakan ibadah haji. Ini karena alat komunikasi ketika itu tidak secanggih saat ini. Sekarang ini setiap rumah memiliki pesawat telepon, bahkan hampir semua orang sudah mempunyai hand phone sehingga dapat berkomunikasi setiap saat. Dan selama itu pula, keluarga di rumah yang ditinggalkan melaksanakan ratiban atau tahlilan tiap malam Jum’at.

Keselamatan jamaah haji (khususnya ayah-ibu) masih terus mebayang bahkan sampai lebaran aji. Saat takbiran menggema di mana-mana keluarga di rumah menahan perasaan sedih. Ingat ayah-ibu yang sedang berjuang di Padang Arafah yang panas. Tanpa sadar air matanya nget?l. Meski begitu anak-anak tetap bergairah memukul bedug dari pagi dan selama malam takbiran. Di hari lebaran mereka tidak sempat memukul bedug karena sibuk nonton pemotongan hewan kurban.

Masakan lebaran aji tidak semeriah dan sekomplit lebaran Idul Fitri. Ketupat dan sayur sambel godog atau opor ayam adalah menu utama. Masakan ini akan dihidangkan setelah shalat Idul Adha. Selesai shalat Idul Adha jamaah masjid bersilaturrahim bersalam-salaman. Dan orang-orang yang pernah melaksanakan ibadah haji terlihat sedih karena mungkin ingatan mereka tertuju ke Padang Arafah atau sedang tawaf mengelilingi Ka’bah pada saat mereka melaksanakan ibadah haji.

Setelah itu dilaksanakan pemotongan hewan kurban. Jamaah laki-laki yang sudah dewasa diminta membantu  atau menjadi panitia kurban. Mereka dianjurkan membawa pisau, kampak, tambang, plastik, daun pisang, dan sebagainya. Sementara itu anak-anak hanya menonton dari kejauhan sambil belajar bagaimana cara menjatuhkan kerbau atau bagaimana memegang kambing yang akan dipotong. Tukang potong hewan kurban biasanya guru atau imam masjid. Perlengkapannya adalah golok yang sangat tajam, air kembang tujuh rupa, dan kain merah putih. Golok tukang potong hewan kurban adalah golok khusus yang memang hanya digunakan untuk memotong hewan. Ketajamannya tidak diragukan lagi dan ini memang disunnahkan karena menurut perintah agama agar hewan yang disembelih tidak merasakan sakit. Kita dapat mebayangkan seberapa tajam golok itu jika digunakan tidak membuat atau menimbulkan rasa sakit bagi hewan kurbqn disembelih.

Hewan yang sudah dipotong akan dipisahkan antara daging, isi perut, dan bagian lainnya. Selanjutnya daging-daging itu dipotong dan dimasukkan ke dalam plakstik sesuai ukuran. Daging-daging ini akan dibagikan kepada fakir miskin dengan adil dan merata. Tukang potong selain mendapat daging, dapat pula kulit kambing, kepala kerbau atau sekadar uang potong.

Seminggu setelah lebaran aji suasana kampung akan kembali semarak. Kali ini warga kampung terutama keluarga yang familinya menunaikan ibadah haji akan sibuk mempersiapkan kepulangan. Di ruang tengah sudah digelar tikar/karpet dan disiapkan kasur di atasnya. Disiapkan juga masakan khas Betawi terutama sayur asem, pecak ikan gurame dan makanan segar lainnya yang tidak dijumpai di tanah suci.

Sementara rumah ditata, sebagian keluarga pergi menjemput ke pelabuhan Tanjung Priok. Memang kepulangan jamaah haji sangat ditunggu-tunggu. Ketika jamah haji sampai di rumah, akan dipasang petasan. Pembakaran petasan ini sebagai tanda kepada warga kampung bahwa Bapak dan Ibu haji sudah tiba dirumahnya dengan selamat dan sehat wal afiat. Maka tetangga datang berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat. Selain itu para tetangga ini mengarapkan oleh-oleh yang dibawa dari tanah suci. Oleh-oleh yang biasanya tidak pernah luput adalah air zamzam, siwak, pacar, sipat mata, korma, tasbih, sajadah, kacang Arab, kismis, rumput fatimah, dan lain-lain.

Suasana kunjungan tetangga atau warga kampung ini baru akan sepi setelah dua minggu. Dan bagi orang Betawi, jamah haji yang baru pulang tidak boleh keluar rumah yang sifatnya santai atau kongko-kongko sebelum empat puluh hari. (Sumber)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tradisi Seru di Betawi Saat Musim Haji"

Posting Komentar