Hilangnya Kampung Betawi Petukangan | Oleh Ahmad Biky

GoBetawi.com - Lirik di bawah ini, Bang Iwan Fals rasanya sangat tepat menggambarkan suasana kebatinan warga Betawi di Petukangan.

Di kamar ini aku dilahirkan
Di bale bambu buah tangan bapakku
Di rumah ini aku dibesarkan
Dibelai mesra lentik jari ibuku
Nama dusunku ujung aspal pondok gede
Rimbun dan anggun
Ramah senyum penghuni dusunku

Kambing sembilan motor tiga
Bapak punya
Ladangnya luas habis sudah sebagai gantinya

Sampai saat tanah moyangku
Tersentuh sebuah rencana
Demi serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi

Di depan masjid
Samping rumah wakil pak lurah
Tempat dulu kami bermain
Mengisi cerahnya hari

Namun sebentar lagi
Angkuh tembok pabrik berdiri
Satu persatu sahabat pergi
Dan tak kan pernah kembali

2012 lalu ada secercah harapan dalam kampanye Jokowi-Ahok yang berjanji untuk tidak SETUJU melanjutkan pembangunan TOL Dalam Kota, namun setelah terpilih menjadi Gubernur DKI dan kini Presiden Indonesia,  JANJI Itu hanya menjadi sebatas janji.

Ganti rugi menjadi alasan akhirnya warga betawi merelakan Kampungnya HILANG!

Mari kita simak penuturan dari Bang Ahmad Biky terkait dengan "HILANGNYA KAMPUNG BETAWI PETUKANGAN..."
***

Pembebasan Lahan Jalan Tol Ruas Lingkar Luar Jakarta W2 Utara (Kebon Jeruk – Ulujami)
Oleh : Ahmad Biky (Pengacara Publik LBH Jakarta Bidang Penanganan Kasus) [1]

Ada dua perubahan struktur yang hendak dicapai oleh Bantuan Hukum Struktural yakni, adanya perubahan pada vertical division of labor dan feudal interaction structure dan ini dilakukan dengan penciptaan pusat-pusat kekuatan (power resources) di dalam tubuh masyarakat, dengan kata lain masyarakatlah yang harus menjadi ujung tombak perjuangan dalam menuntut hak-hak mereka.

Pada Tahun 1992 Gubernur DKI Jakarta menetapkan Trace Jakarta Outer Ring Road (JORR) W2 North melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 195 Tahun 1992, selang 16 (enam belas) tahun kemudian sekitar tahun 2008 terbentuk Tim Pengadaan Tanah (TPT) untuk proyek Pembebasan Lahan Jalan Tol Ruas Lingkar Luar Jakarta W2 Utara (Kebon Jeruk – Ulujami) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 234/KPTS/M/2008, tanggal 27 Maret 2008 yang dapat dikatakan sebagai awal dari “petaka” hilangnya kampung Betawi Petukangan. Petukangan merupakan salah satu dari sedikit kampung Betawi yang masih bertahan dari kerasnya pembangunan Kota Jakarta. Kampung Petukangan masih terus menjaga keaslian dan keluhuran budaya Betawi seperti palang pintu dan Pencak Silat Beksi, bahkan Petukangan merupakan tempat kelahiran guru Pencak Silat Beksi yakni Godjalih atau bisa lebih dikenal dengan Kong Haji, yang patut diingat adalah tujuan Kong Haji menekuni Pencak Silat dikarenakan Ia tidak suka dengan kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda terhadap saudara-saudaranya orang Betawi[2].  Sekarang Petukangan lagi sebagai kampung Betawi tetapi telah berubah menjadi jalan beton yang komersial atau orang lebih kenal dengan istilah Jalan Tol yang mana tahapan proses pembebasan lahannya dimulai sejak tahun 2009.

Januari 2009 Sosialisasi proyek Pembebasan Lahan Jalan Tol Ruas Lingkar Luar Jakarta W2 Utara (Kebon Jeruk – Ulujami) mulai dilakukan oleh Tim Pengadaan Tanah (TPT) dari Kementerian Pekerjaan Umum bersama dengan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan sususnan keanggotaannya diatur dalam Pasal 14 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terdiri dari a. Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota; b. Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota; c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan d. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai Anggota.

Proses pembebasan lahan yang dilakukan tidak sesederhana yang ada text peraturan perundang-undangan dalam implementasi banyak terjadi konflik dan permasalahan dalam menerapkan sebuah peraturan dengan mengatasnamakan pembangunan. Sosialisasi  yang dilakukan pihak TPT dan P2T pada Januari 2009 yang melakukan pengukuran/pendataan tanah dan bangunan secara tidak profesional karena dilakukan secara acak dan waktu yang tidak terjadwal. Nopember 2009 TPT dan P2T mengumumkan atau menyampaikan hasil ukur/data tanah dan bangunan warga dan pertemuan tersebut berjalan ricuh dikarenakan data yang tidak akurat  seperti : ukuran/data tanah dan bangunan yang tidak benar, jalan lingkungan tidak dikembalikan kepada pemilik asal tetapi diklaim oleh TPT sebagai milik Negara, P2T tidak mengakui/tidak bersedia melakukan musyawarah dengan Tim Perwakilan yang sudah ditunjuk dan diberi kuasa oleh warga untuk melakukan perundingan dengan pihak P2T/TPT.

Selain permasalahan mengenai inventarisasi data tanah dan bangunan milik warga juga masih banyak permasalahan lainnya khususnya dalam musyawarah penentuan harga yang akhirnya warga pada bulan April 2010 dengan tegas menyatakan sikap belum dapat menyetujui penawaran harga yang ditawarkan oleh TPT dan P2T proyek jalan tol JORR W2N yang disebabkan:
  1. Rencana nilai ganti rugi lahan dan bangunan yang disampaikan dalam pertemuan dengan Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dikantor Kelurahan Petukangan Selatan, belum mencerminkan aspirasi warga yang terkena program pengadaan jalan tol dan belum pernah dijelaskan serta disosialisasikan kepada warga sebagai rencana besaran ganti kerugian.
  2. Sosialisasi disampaikan kepada warga hanya menyimpulkan agar warga dapat mempersiapkan dan menyerahkan copy data-data surat kepemilikannya serta akan dilaksanakan pengukuran luas lahan selengkapnya masing-masing milik warga yang terkena proyek pengadaan jalan tol.
  3. Pengukuran tanah, bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya serta jalan yang dimiliki warga belum selesai / belum mencerminkan hasil inventarisasi atas kepemilikan warga sebenarnya.
  4. Penawaran harga ganti kerugian yang diajukan hanya berkisar Rp. 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah)/dibawah NJOP tahun 2010 sangat tidak mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 26 ayat (3) tentang arti dan nilai mata uang dan Pasal 33 ayat (3) tentang kebijakan pemerintah yang diharapkan mensejahterakan masyarakat, padahal sudah ditegaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Jo. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa pergantian atas kerugian baik berupa pisik maupun non pisik sebagai akibat dari pengadaan tanah yang diberikan kepada pemilik tanah, bangunan, tanaman atau benda-benda lain yang berada diatasnya dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena program pengadaan tanah dengan memperhatikan nilai nyata/pasar.

Pada tanggal 31 Agustus 2010 Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Untuk Kepentingan Umum Kota Administrasi Jakarta Selatan menetapkan  harga bedasarkan Keputusan Nomor : 193/-1.711.37/JORR W2 Utara/VIII/10 tentang bentuk dan besarnya nilai ganti rugi atas tanah, bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah untuk pengadaan tanah yang terkena pembangunan Jalan Tol JORR W2 Utara yang berlokasi dikelurahan Petukangan Selatan berdasarkan revisi peta bidang tanah dan daftar inventarisasi No. 01 a sebanyak 111 bidang, No. 02 a sebanyak 112 bidang, No. 03 a sebanyak 93 bidang, No. 04 a sebanyak 83 83 bidang, Kecamatan Pesanggrahan Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan sebesar Rp. 920.000,- (sembilan ratus dua puluh ribu rupiah)/satu kali NJOP tahun 2010. Kemudian warga bersama LBH Jakarta mengajukan keberatan atas SK tersebut kepada Gubernur DKI Jakarta (saat itu Fauzi Bowo/Foke) dikarenakan proses penentuan harga dan dikeluarkannya SK dari P2T Jakarta Selatan tidak dilakukan dengan musyawarah atau tidak adanya pelibatan warga yang terkana proyek pembebasan lahan tersebut, inventarisasi data tanah, bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah tidak sesuai dengan kondisi nyata/yang sebenarnya, dan warga keberatan dengan harga yang diterapkan pada tahun 2010 sebesar Rp. 920.000,- (sembilan ratus dua puluh ribu rupiah/satu kali NJOP sedangkan tahun 2003 sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)/sepuluh kali NJOP sesuai dengan SK Walikota Jakarta Selatan No. 245/2003.

Menindaklanjuti keberatan warga atas SK besaran nilai ganti rugi yang dikeluarkan oleh Pantia Pengadaan Tanah Kota Administrasi Jakarta Selatan, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta menetapkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 1907/2010 Tentang Perubahan Besarnya Nilai Ganti Rugi Tanah dan Bangunan Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) W2 Utara Di Kelurahan Petukangan Utara dan Kelurahan Petukangan Selatan Kecamatan Pesanggrahan Kota Administrasi Jakarta Selatan sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Untuk kesekian kalinya warga kembali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang dibuat Pemerintah meskipun mereka adalah stakeholder yang penting dalam proyek pengadaan tanah tersebut. Gubernur DKI Jakarta kembali mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah Kota Administrasi Jakarka Selatan yang membedakan adalah nilai ganti kerugian yang ditetapkan oleh Gubernur DKI sedikit lebih besar dari yang ditetapkan oleh P2T Kota Administrasi Jakarta Selatan. Tidak terima dengan Keputusan Gubernur tersebut warga bersama LBH Jakarta mengajukan gugatan atas SK Gubernur ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Dalam menjalani proses pembebasan lahan tersebut warga kemudian membentuk organisasi semacam yang dinamakan Perwakilan Warga Yang Terkena Proyek Jalan Tol JORR W2N Petukangan Selatan. Melalui organisasi ini masyarakat didampingi LBH Jakarta terus memperjuangkan hak-hak mereka khususnya hak atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak.

Perlawanan Diruang Sidang

Tidak terima dengan Keputusan Gubernur yang dikeluarkan tanpa melibatkan partisipasi warga sebagai stakeholder dan masih banyaknya kesalahan dalam inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, bangunan dan benda lain yang berkaitan dengan tanah warga Petukangan Selatan bersama LBH Jakarta mengajukan gugatan atas SK Gubernur tentang nilai ganti rugi untuk proyek Jalan Tol JORR W2N ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan Nomor Perkara No. 16/G/2011/PTUN-JKT. Dalam setiap sidang warga selalu datang untuk menyaksikan dan mengawal sidang, sedikitnya selalu hadir secara besama-sama dengan mengunakan 4 (empat) bus metro mini di setiap sidangnya bahkan pada saat sidang pembacaan putusan sampai 9 (sembilan) bus metro mini. Tindakan ini dilakukan oleh warga Petukangan Selatan karena mereka sadar bahwa ujung tombak perjuangan adalah mereka dan tidak sekedar titip nasib kepada LBH Jakarta selaku kuasa hukum dalam kasus tersebut.
Plan Jorr 2


Dalam persidangan ini kami dapat membuktikan banyaknya permasalahan sehubungan dengan dikeluarkannya SK Guburbur DKI Jakarta Nomor 1907/2010 khususnya mengenai tidak adanya musyawarah dalam menetapkan harga dan masih banyaknya kesalahan dalam inventarisasi tanah, bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah berdasarkan bukti dan saksi serta dikuatkan dengan keterangan Ahli Prof. Arie Sukanti Hutagalung yang bersedia memberikan keterangannya dibawah sumpah tanpa dibayar sepeserpun. Keterangan penting yang disampaikan oleh Prof. Arie Sukanti Hutagalung diantaranya:
  1. Dasar perolehan tanah menurut hukum tanah nasional adalah musyawarah untuk mufakat;
  2. Musyawarah adalah asas hukum, batang tubuh dari suatu pohon hukum sedangkan peraturan presiden hanyalah sebagian ranting-ranting yang kecil saja;
  3. Musyawarah adalah proses yang saling mendengar, saling memberi pendapat, yang berasaskan kesetaraan dan persamaan hak;
  4. Jika pemilik tanahnya banyak maka musyawarah dapat dilakukan dengan perwakilan masyarakat, yaitu pihak yang diberi kuasa dan harus ada surat kuasa;
  5. Gubernur bisa meminta P2T melakukan musyawarah kembali;
  6. Musyawarah harus dilakukan dengan pihak yang berhak atau yang diberi kuasa, bukan dengan pengurus RT
  7. Sekalipun peraturan tidak mengatur secara detail mengenai dilakukannya musyawarah kembali, namun jika tetap tidak dilakukan maka tindakan tersebut sebagai pelanggaran asas hukum. Asas hukum lebih penting dari peraturan perundang-undangan yang Cuma ranting-rantingnya. Nyawa dalam pelepasan tanah adalah musyawarah mufakat, hal ini ditunjang oleh konstitusi dan Pancasila. Musyawarah kembali dimungkinkan, malah jika Gubernur secara paksa malah bisa dikategorikan melanggar HAM.

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan Musyawarah yang dimaknai saling mendengar, saling memberi pendapat serta berasaskan kesetaraan dan persamaan hak  mutlak dilakukan dalam proses pelepasan tanah. Ketiadaan ketentuan peraturan perundangan yang secara detail mewajibkan Tergugat melakukan musyawarah tidak dapat dibenarkan karena Musyawarah adalah asas hukum yang posisinya lebih tinggi dari Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Jo. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 dan Perkap BPN No. 3 Tahun 2007.

Atas dasar-dasar tersebut diatas kemudian Majelis Hakim memenangkan gugatan Warga Petukangan dan LBH Jakarta dengan amar Putusan :
  1. Menolak Eksepsi Tergugat
  2. Mengabulkan gugatan Para Penggugat secara keseluruhan;
  3. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara berupa Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1907/2010 tertanggal 4 November 2010 Tentang Perubahan Besarnya Nilai Ganti Rugi Tanah Dan Bangunan Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) W2 Utara Di Kelurahan Petukangan Utara Dan Kelurahan Petukangan Selatan Kecamatan Pesanggrahan Kota Administrasi Jakarta Selatan;
  4. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1907/2010 tertanggal 4 November 2010 Tentang Perubahan Besarnya Nilai Ganti Rugi Tanah Dan Bangunan Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) W2 Utara Di Kelurahan Petukangan Utara Dan Kelurahan Petukangan Selatan Kecamatan Pesanggrahan Kota Administrasi Jakarta Selatan yang telah dikeluarkan oleh Tergugat;
  5. Menghukum biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Tergugat.

Merasa tidak puas putusan hakim Gubernur DKI Jakarta selaku Tergugat mengajukan upaya hukum banding bahkan sampai kasasi di Mahkamah Agung namun Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 16/G/2011/PTUN-JKT kemudian dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor : 178/B/2011/PT.TUN-JKT  serta Putusan Mahkamah Agung Nomor : 283 K/TUN/2013 yang artinya SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1907/2010 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan Pemerintah Khususnya TPT dan P2T harus melakukan perbaikan data tanah, bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah serta melakukan musyawarah dengan warga atau para pemegang hak.

Gubernur DKI Jakarta Yang Baru (Jokowi) Belum Mengerti Permasalahan Pembangunan Proyek Jalan Tol JORR W2 N

Setelah dimenangkannya gugatan warga di Pengadilan maka pekerjaan rumah selanjutnya yang harus diselesaikan adalah meminta pihak Pemerintah untuk melaksanakan putusan Pengadilan dengan cara melakukan perbaikan inventarisasi data atau pengukuran ulang serta melakukan musyawarah untuk pergantian harga yang layak serta tidak memiskinkan. Mengenai permasalahan besaran nilai ganti kerugian LBH Jakarta tidak masuk terlebih dalam karena hal tersebut berkaitan dengan hak kepemilikan warga disamping itu juga sesuai dengan prinsip dan tujuan dari Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang menjadi working ideology LBH Jakarta pusat-pusat kekuatan untuk melakukan advokasi harus berasal dari dalam tubuh masyarakat itu sendiri, masyarakat harus berdaya dalam memperjuangkan hak-hak mereka. LBH Jakarta hanya mendampingi warga untuk tahu hak dan kewajibannya serta bagaimana seharusnya musyawarah berlangsung dan memastikan musyawarah tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku[3].

Yang dilakukan warga pertama kali bersama LBH Jakarta ketika sudah menerima Putusan Mahkamah Agung yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah segera memberitahukan permasalahan pembebasan lahan proyek jalan tol JORR W2 N kepada Gubernur DKI Jakarta yang baru terpilih yakni Jokowi. Warga secara bersama-sama datang ke Balai Kota untuk melakukan audiensi dengan Gubernur dan surat permohonan audiensi sudah disampaikan oleh LBH Jakarta seminggu sebelumnya. Audiensi tersebut dijadwalkan pada hari Rabu, 17 April 2013 pukul 10.00 WIB, warga sudah berangkar dari petukangan dengan menggunakan 12 Bus Metro Mini dan 1 Mobil Komando sejak pukul 08.00 WIB. Hal yang mengejutkan terjadi dimana pada pukul 09.30 WIB LBH Jakarta mendapat telefon dari orang yang mengaku dari Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan menyatakan bahwa pertemuan audiensi tersebut tidak bisa dilakukan karen Gubernur sudah ada agenda yang lain dan meminta dijadwalkan ulang, namun warga tetap datang ke Balai Kota dan menunggu agar Gubernur mau menemui mereka dan hasilnya sekitar jam 13.00 WIB sejumlah perwakilan warga bersama kuasa hukum dari LBH Jakarta diterima oleh Gubernur dan langsung menyampaikan permasalahan yang terjadi terkait proyek pembebasan lahan jalan tol JORR W2 N. Hal yang sangat mencengangkan adalah Jawaban Jokowi yang mengatakan dengan polosnya bahwa beliau belum mengetahui permasalahan pembebasan lahan jalan tol JORR W2 N khususnya di wilayah Petukangan Selatan.
Aksi warga Petukangan

Sumber : Pusat Dokumentasi dan Informasi LBH Jakarta

Pasca aksi audiensi Warga Petukangan Selatan Tergusur Jalan Tol JORR W2N ke Balai Kota pada tanggal 17 April 2013 yang lalu Gubernur DKI Jakarta (Joko Widodo) yang dilanjutkan dengan “blusukan” ke lokasi pada hari jum’at tanggal 19 April 2013 Jam 10 pagi berjanji akan mengadakan musyawarah dengan Warga Petukangan Selatan di restoran padang pada hari rabu tanggal 24 April 2013.  Namun setelah adanya “blusukan” yang di lakukan oleh Jokowi kemudian entah dengan sepengetahuan atau tidak dari Gubernur, warga juga mendapat undangan musyawarah terkait permasalahan yang sama dari Ketua Panitia Pengadaan Tanah (P2T) di lokasi yang sama, hari dan tanggal yang sama namun dengan selisih waktu 2 jam sebelumnya yakni sekitar pukul 11.00 WIB sehingga menimbulkan ke khawatiran warga akan diterapkannya “jurus” lama yang penuh dengan permasalahan terkait dengan pembebasan lahan untuk proyek jalan tol JORR W2N khususnya di Petukangan Selatan. Pada akhirnya pertemuan dilakukan secara bersama baik dengan Gubernur, TPT, P2T Kota Administrasi Jakarta Selatan dan Warga, hasil dari pertemuan tersebut adalah Jokowi menghimbau agar proses pembebasan lahan dilakukan dengan musyawarah dan P2T berkewajiban untuk memperbaiki data-data  tentang tanah, bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah. Sekitar bulan Agustus 2013 pengukuran ulang dan perbaikan inventarisasi tanah, bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah dilakukan dan kemudian dilanjutkan dengan proses musyawarah soal harga ganti kerugian.

Akhir Proses Pembebasan Lahan Proyek Jalan Tol JORR W2 N dan Merupakan Awal Hilangnya Kampung Betawi Petukangan

Perjuangan warga Petukangan yang tak kenal lelah kian mendekati capaian kemenangan ketika proses pengukuran ulang dan perbaikan inventarisasi tanah, bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah selesai dilakukan dan beranjak pada tahapan musyawarah, tantangan yang dihadapi semakin besar namun tampaknya semangat dan karakter Kong Haji ada dalam diri warga Petukangan. Hal tersebut terbukti dengan mampunya Warga Petukangan mampu untuk melakukan musyawarah dengan pihak P2T Kota Administrasi Jakarta Selatan dan TPT dari Kementerian Pekerjaan Umum. Musyawarah tersebut dilakukan dengan sistem jejaring (perwakilan) dimana setidaknya terdapat 15 jejaring yang masing-masing jejaring mewakili 5 orang warga pemilik hak dan LBH hanya sebagai pendamping.

Dalam proses musyawarah warga kerap kali di intimidasi dengan kata-kata konsinyasi (menitipkan uang di pengadilan) dan kemudian di gusur paksa.  Namun warga tidak takut justru menjadi lebih semangat dan solid untuk terus berjuang, setidaknya setiap kali pertemuan musyawarah warga selalu hadir beramai untuk mengawal proses tersebut. Sampai pada akhirnya proses musyawarah dapat dilakukan dengan baik, upaya  Selain upaya litigasi melalui gugatan, warga juga kerap melakukan aksi demonstrasi untuk menyuarakan permasalahan-permasalahan mereka dan mendorong dukungan serta keterlibatan publik terhadap kasus yang mereka hadapi membuahkan hasil ketika tercapai kesepakatan mengenai besaran ganti kerugian terkait pembangunan jalan  tol JORR W2 N.

Sebanyak 101 bidang tanah milik warga Petukangan Selatan kini sudah resmi dibebaskan dengan uang ganti rugi seluruhnya mencapai Rp 130 miliar. Pada proses pembayaran, warga diminta untuk menyerahkan seluruh berkas kepemilikan lahan asli. TPT dan P2T memberikan cek dalam bentuk buku tabungan dan kartu ATM beserta nomor PIN-nya. Warga dapat mencairkan dana tersebut ke bank cabang terdekat. Proses ini menandakan berakhirnya proses pembebasan lahan proyek jalan tol JORR W2 N dan merupakan awal dari hilangnya kampung Betawi Petukangan. Apakah Pembangunan Harus Selalu Menghilangkan Kebudayaan???

NB :
[1] Pengacara Publik LBH Jakarta Bidang Penanganan Kasus
[2] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1072/Godjalih-Kong-Haji
[3] http://megapolitan.kompas.com/read/2013/11/19/0913158/JORR.W2.Dilanjutkan.Kembali

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hilangnya Kampung Betawi Petukangan | Oleh Ahmad Biky"

Posting Komentar