[Nostalgia Betawi Tempoe Doeloe] Ceng Beng, ‘Nyekar’ Ala Tionghoa

GoBetawi.com - Warga keturunan Tionghoa kini makin terbuka merayakan berbagai tradisi leluhurnya, setelah ‘terlarang’ selama 40 tahun. Selama ini hanya Imlek, kemudian disusul cap go me, atau pesta penutupan tahun baru, yang dirayakan etnis Tionghoa besar-besaran. Apalagi Presiden Megawati telah menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.

Di samping Imlek dan cap go me, masih ada sejumlah hari raya Tionghoa lainnya yang juga tidak pernah luput dirayakan, yakni ceng beng yang jatuh pada tiap tanggal 5 April. Lalu disusul dengan pehcun atau toan yang dirayakan pada hari kelima bulan lima (go gwee cego) Mei mendatang. Di tempo doeloe pehcun merupakan karnaval perahu yang diikuti masyarakat luas. Perayaan ini untuk menghormati dewa air, yaitu naga, yang menurut mitologi Tionghoa dianggap sebagai pembawa hujan.

Sampai sebelum pendudukan Jepang (1942), pehcun dirayakan dengan lomba mendayung perahu naga di berbagai sungai di Jakarta. Pada hari raya tersebut warga Tionghoa makan kue bahcang, kue dari ketan berisi daging. Sedangkan pada hari tiong ciun yang jatuh pada awal Oktober, mereka makan kue bulan (tiong ciu pia yang terbuat dari ketan berisi kacang hijau yang digerus. Sedangkan pada akhir Desember merupakan hari raya tang ce. Pada hari itu warga Tionghoa makan kue ronde. Ceng beng yang baru dua hari lalu dirayakan warga Tionghoa, diambil dari kata ceng (terang) dan beng (jernih).

Karena hari tersebut musim semi di Tiongkok (Cina), maka merupakan kesempatan yang paling baik untuk mengunjungi thiong (pemakaman umum). Sembari membawa hio (dupa batangan untuk sembahyang), warga Tionghoa nyekar di bong (makam) untuk merayakan pertemuan dengan keluarga yang sudah meninggal. Tiga hari sebelum ceng beng, makam-makam itu sudah harus dibersihkan. Rumput dan alang-alang dipotong, batu nisan dan bangunan sekelilingnya disikat bersih dengan air dan sabun. Pokoknya saat nyekar sudah harus bersih.

Saat ini, karena pemakaman-pemakaman Tionghoa sudah banyak tergusur, mereka pergi ke ke tempat-tempat penitipan abu jenazah. Termasuk ke krematorium di pantai Dadap (perbatasan Jakarta-Tangerang) dan Cilincing. Namun, masih ada pula yang pergi ke pemakaman-pemakaman Tionghoa yang masih tersisa, seperti di Karawaci (Tangerang), Kebon Nanas (Jakarta Timur), Petamburan (Jakarta Pusat), dan Bogor. Saat berziarah, warga Tionghoa membawa makanan berupa ketupat dan lepet, yang sudah dimasak dua hari sebelumnya.

Seperti dikemukakan David Kwa, pakar budaya Tionghoa, sehari sebelum ceng beng merupakan hari bebas api. Selama sehari penuh di rumah-rumah tidak diperbolehkan ada api menyala. Menurut David, tradisi ini punya kaitan dengan peristiwa di negeri leluhur Tiongkok. Konon, kala itu ada seorang pangeran yang karena difitnah terpaksa meninggalkan istana. Selama pembuangan dan pengembaraan yang panjang, di antara pengikut pangeran itu terdapat seorang pembesar yang sangat setia.

Begitu setianya pembesar ini hingga pernah memotong daging pahanya untuk santapan sang pangeran. Sayangnya, ketika pangeran kembali menjadi raja, Kai Cu Tai nama pengikut setianya terlupakan. Raja yang kemudian diingatkan hal itu akhirnya mengerahkan rakyatnya untuk mencarinya. Karena tidak berhasil, ia pun memerintahkan untuk membakar hutan agar pengikut setianya itu keluar.

Tragisnya, orang yang dicari-cari itu ditemukan dalam keadaan terpanggang sambil memeluk ibunya yang telah tua. Raja yang bersedih akhirnya memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api sehari sebelum ceng beng, sebagai tanda duka. Karenanya, ceng beng juga disebut hari raya makan sajian dingin. Sesuai kepercayaan mereka, keharusan mengunjungi makam leluhur di hari ceng beng merupakan wujud bakti seorang anak terhadap orang tua dan leluhurnya.

Menurut ajaran Khonghucu, bakti ini harus diwujudkan selama mereka hidup dan sesudah meninggal. Bagi orang Tionghoa, bakti seorang anak terhadap orang tua/leluhur dianggap kebajikan paling utama. Anak harus menghormati orang tua dan tidak mempermalukannya. Tidak terbatas pada generasi yang masih hidup tetapi juga nenek moyang yang sudah tiada. Anak yang berbakti (hua) dalam versi mereka dikasihi dan diberkati thian (Tuhan). Sebaliknya anak yang durhaka (put hau), dianggap sangat terkutuk karena melupakan jasa-jasa orang tua.
Oleh : Alwi Shahab

Klik Download Untuk Aplikasi Android GoBETAWI.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "[Nostalgia Betawi Tempoe Doeloe] Ceng Beng, ‘Nyekar’ Ala Tionghoa"

Posting Komentar