Budaya dan Sejarah Masyarakat Betawi

Sejarah terbentuknya masyarakat Betawi di Jakarta berjalan sangat panjang, sepanjang perjalanan sejarah terbentuknya kota Jakarta. Pada umumnya orang Betawi sendiri tidak mengetahui mite atau legenda yang menceritakan asal-usul tentang diri mereka.  Di Desa Ciracas, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, dikenal cerita yang mengisahkan orang Betawi sebagai keturunan pria Demak yang menikah dengan wanita Cina. Kalaupun tidak seluruh orang Betawi sendiri mengerti asal-usul mereka, ada beberapa sarjana yang concern dengan sejarah terbentuknya orang Betawi.

Sejarah atau asal-usul orang Betawi menarik perhatian para peneliti seperti Van der Aa, Milonne, dan L. Castle. Van der Aa melihat munculnya orang Betawi dari segi bahasa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahasa pergaulan pada abad ke-18 adalah dialek Portugis, yang tidak lagi dikenal pada abad ke-19, dan sebagai gantinya timbul bahasa semacam bahasa Melayu Betawi. Menurut Van der Aa, dalam Nederlands Oost Indie Jilid II, orang-orang yang menggunakan bahasa inilah yang kemudian disebut orang Betawi. Sedang Ninuk Kleden, yang meneliti keberadaan dan kebudayaan orang Betawi dalam buku Teater Lenong Betawi, mengumukakan sarjana seperti Milone dan L.Castle memiliki titik tolak yang sarna dalam mencari asal-usul orang Betawi. Milone, dalam disertasinya Queen of the East: The Metamorphosis of a Colonial Capital, mengatakan orang Betawi terbentuk dari beberapa kelompok etnik yang percampurannya dimulai sejak zaman kerajaan Sunda, Pajajaran, dan pengaruh Jawa yang dimulai dengan ekspansi Kerajaan Demak, Pencampuran etnik tersebut dilanjutkan dengan pengaruh-pengaruh yang masuk setelah abad ke-16, dimana VOC turut mempunyai andil dalam proses terbentuknya identitas orang Betawi.

Kutipan buku Jearboek van Batavia (Vries, 1927) dapat menggambarkan bahwa masyarakat Betawi adalah hasil percampuran dari berbagai latar belakang tersebut tetapi bersifat menyatu: Sejumlah 210.000 orang merupakan kelompok yang terdiri dari berbagai suku Gemente Batavia ini. Semula penduduk pribumi terdiri dari suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku dari pulau lain, seperti Melayu, Bugis, Ambon, Manado, Timor dan sebagainya. Yang kaum lelakinya menikahi wanita setempat baik untuk waktu lama maupun pendek. Juga orang Eropa, Cina, Arab, Jepang dan sebagainya menyukai wanita-wanita pribumi.

Akibatnya terbentuklah tipe lain yang jelas perbedaannya dengan tipe suku Sunda yang masih sering dijumpai di sekitar Batavia. Orang- orang yang disebut terakhir ini melakukan peternakan dan pertanian dan cara hidup dan berpakainnya bersahaja. Inlanders  itu, yang berdiam di Ibukota, mempunyai berbagai mata pencaharian. Banyak dari mereka ini bekerja pada orang-orang Eropa dan Cina sebagai pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor, opas, dan sebagainya. Banyak dari mereka merasa bangga kalau bekerja di pemerintahan atau Kotapraja sebagai pembantu kantor meskipun gajinya lebih kecil daripada di swasta. Sementara yang lain mempunyai mata pencaharian sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu dan sandal, tukang kayu, kusir dari kereta sewaan dan sebagainya dan berkeliling kota dengan "warung dorongnya" atau sebagai penjual buah-buahan, ikan dan sebagainya. Semuanya bertempat tinggal di kampung-kampung yang letaknya di antara daerah-daerah pemukiman orang-orang Eropa, tetapi hampir tidak tampak dari luar.

Dikemukakan pula oleh Milone, pembicaraan tentang keadaan penduduk di Batavia sampai tahun 1919, saat Belanda mulai mengadakan kegiatannya di Pantai Utara Jawa Barat, hanya dapat didasarkan pada asumsi-asumsi saja. Salah satunya asumsi L. Castle, seorang pakar sejarah dan ekonomi Indonesia, ketika meneliti komposis suku bangsa di Batavia. Dalam karyanya "The Ethnic Profile of Djakarta" memakai sumber Dagh-register 1973, buku History of Java karya Raffles dan Encyclopedia van Nederlandsch Indie 1893 yang kemudian dibandingkan dengan sensus volkstelling yang diadakan tahun 1930. Setelah dikaji, semua sumber tersebut menghasilkan sebuah hipotesa mengenai asal-usul orang Betawi.Tabe1 1 yang dibuat oleh Castle (Indonesia, No.3, 1967:157) diharapkan dapat memberikan sedikit gambaran tentang jumlah penduduk Batavia pada tahun 1673 dan tahun 1893.

Dari Tabel 1, dapat dikemukakan bahwa tahun 1673 tercatat tujuh etnik dimana satu diantaranya adalah golongan budak. Sedang tahun 1893, tinggal terdapat empat kelompok etnik dan golongan budak sudah tidak ada lagi. Disebabkan sejak tabun 1860, seperti dikemukakan W.F Wertheim dalam buku Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, perbudakan sudah dilarang. Keempat etnik yang masih bertahan adalah orang-orang Eropa, Cina, Arab dan Moor (orang- orang yang datang dari India). Kemudian ada orang Indonesia asli yang termasuk dalam satu kelompok dan terdiri dari orang-orang Jawa (termasuk orang Sunda), Sulawesi Selatan, Bali, Sumbawa, Ambon dan Banda. Selain itu masih ada satu kelompok lain yang disebut kelompok Melayu.

Proporsi penduduk Batavia seperti yang tercantum dalam tabel di atas clapat dibuat, karena pada abad 17 dan 18 berbagai kelompok etnik itu, termasuk bekas-bekas budak yang berasal dari Bali, Sulawesi, Sumbawa, Timor, Flores dan Ambon, berdiam berkelompok dalam kampungkampung tersendiri. Nama-nama kampung dimana orang-orang itu tinggal masih dapat ditemui hingga sekarang, seperti Kampung Manggarai yaitu daerah dimana orang-orang yang berasal dari Manggarai (di Flores) itu berdiam. Selain itu juga dikenal Kampung Jawa, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Arab di Krukut, Kampung Makasar, Kampung Banda dan Kampung Mandar.
Selain golongan budak, tabel itu juga memperlihatkan adanya orang-orang bebas, diantaranya 359 orang penduduk asli yang tidak dihitung dalam sensus penduduk tahun 1673. Siapa yang dimaksudkan L. Castle dengan penduduk asli, tidaklah dijelaskan lebih lanjut. Mereka adalah orang dari kerajaan Pajajaran atau keturunan orang Demak yang mengadakan ekspansi ke daerah ini, seperti yang dikatakan Milone. Sementara itu, Wertheim menjelaskan, bahwa mereka yang tinggal di Batavia pada abad ke-17 dan 18 meliputi berbagai kelas sosial, yaitu pegawai-pegawai Belanda yang menduduki kelas tertinggi, diikuti oleh mereka yang beragama Kristen, kemudian orang Cina, orang Indonesia pada umumnya dan golongan budak menduduki kelas sosial terendah.

Pada pertengahan abad ke-19, berbagai kelompok etnik tersebut kehilangan sifat-sifat aslinya. Sifat-sifat asli itu hilang terutama karena adanya kawin campur. Kemajuan dalam hal perdagangan tampaknya juga turut berperan dalam hal ini. Perkawinan campur antara sesama bekas budak yang telah dibebaskan, perkawinan campur antara bekas budak dengan majikannya yang kebanyakan orang-orang Cina dan Belanda, dan juga perkawinan campur antara penduduk asli dengan pendatang. Selain itu juga banyak terjadi perkawinan campur antara wanita pribumi dengan laki-Iaki Eropa. Anak-anak dari perkawinan campur semacam ini dikenal dengan anak-anak Indo yang terbedakan dalam dua status. Pertama, yaitu anak-anak: yang ayahnya mendapat status tinggi di Eropa, juga mendapat status Eropa. Kedua, anak-anak yang lahir dari ayah yang di Eropa tidak mendapat status tinggi, biasanya akan menerima status sebagaimana status ibunya.

Pada akhir abad ke-19, di daerah Batavia dan di sekitarnya timbul satu etnik baru yang tidak termasuk salah satu dalam kelompok etnik yang ada di daerah itu. Etnik baru ini lahir dari perkawinan campur. Seperti disebutkan, yang dimulai sejak pertengahan abad ke-19 dan ditandai dengan adanya bahasa yang digunakan secara khusus. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, penelitian Van der Aa memperlihatkan bahwa bahasa pergaulan yang digunakan pada abad ke-18 di daerah ini adalah bahasa dengan dialek Portugis, tetapi pada abad ke-19 dialek ini tidak terdengar lagi dan timbul bahasa baru yang terdengar seperti bahasa Melayu Betawi sekarang. Sementara itu, Van der Tuuk, seperti dikutip Muhadjir dalam karyanya "Dialek Melayu Jakarta Dewasa Ini" (Seni Budaya Betawi, Jakarta: 156-165), menduga bahwa bahasa yang dipakai di Batavia adalah semacam bahasa Bali rendah. Menurut pendapatnya, bahasa yang terdapat di daerah ini adalah dialek Melayu dengan berbagai unsur yaitu Bali, Jawa, Sunda, Cina, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris. Dengan melihat uraian tersebut di atas, tampak bahwa bahasa dapat digunakan sebagai salah satu indikator yang memperlihatkan adanya campuran berbagai kelompok etnik.

Kalau tabel sebelumnya menunjukkan adanya asumsi tentang proses timbulnya orang Betawi yang dimulai pada abad ke-17, maka Tabel 2 yang juga dibuat oleh L. Castle memperlihatkan komposisi suku bangsa di Batavia pada tahun 1930.

Tabel 2 memperkirakan bahwa pada tahun 1930, terdapat 64,3% orang Betawi tinggal di wilayah Batavia. Orang Betawi yang ditunjuk pada tabel ini merupakan suatu kelompok etnik sendiri di samping kelompok etnik-etnik yang lain, yang tidak dikenal dalam tabel sebelumnya. Secara resmi kelompok etnik ini memperkenalkan dirinya melalui suatu organisasi pemuda yang didirikan pada tahun 1923 yaitu Organisasi Kaum Betawi, yang berdiri di samping organisasi-organisasi pemuda pergerakan nasional lainnya yang bersifat kesukuan seperti Jong Java, Jong Ambon, dan sebagainya. (Sumber)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Budaya dan Sejarah Masyarakat Betawi"

Posting Komentar