Monas untuk 1000 Tahun - Sejarah Pembangunan Monas | oleh Alwi Shahab

Kalau penyair Chairil Anwar menyatatakan, ”Aku ingin hidup 1000 tahun lagi,” maka Bung Karno ketika membangun Monumen Nasional menyatakan, ”Monumen ini akan tahan selama 1000 tahun.” Ia melakukan pemancangan tiang pertama Tugu Nasional (Monas) pada 17 Agustus 1961.

Ketika bersama rombongan Sahabat Museum mendatangi Monas, kami cukup terkejud bahwa biaya untuk membangun monumen yang begitu monumental itu hanya Rp 7 miliar. Padahal, sekarang harga rumah mewah di kawasan elite, seperti Pondok Indah, Simpruk, Pluit, Kemang dan Bumi Serpong Damai, di atas belasan miliar rupiah.

Tapi, biaya Monas sebesar itu pada tahun 1960-an, seperti dikemukakan seorang pemandunya, nilainya sekarang ini sama dengan Rp 42 triliun. Tahun 1960-an, satu dolar AS nilainya hanya Rp 125. Namun, kala itu yang jadi ukuran biaya bukan dolar, tetapi emas. Kalau nilai dolar terhadap rupiah sekarang Rp 9.000, dan harga emas Rp 198 ribu per gram, maka diperkirakan ketika Monas dibangun harga emas berkisar Rp 25 per gram.

Monas kini masih menjulang di Lapangan Merdeka  pusat kota Jakarta. Ketinggian pelataran puncaknya mencapai 115 meter. Sedang lidah api kemerdekaan, yang terbuat dari 14,5 ton perunggu dengan lapisan emas murni seberat 35 kg, memiliki ketinggian 14 meter. Biaya pembangunan Monas, berdasarkan nilai sekarang Rp 42 triliun, konon jauh lebih kecil dari uang negara yang dilarikan oleh para koruptor ke Singapura yang jumlahnya di atas Rp 100 triliun.

Berarti, uang yang mengalir ke Negeri Singa itu bisa untuk membangun puluhan bangunan seperti Monas dan ratusan ribu rumah sederhana untuk rakyat miskin. Semoga dengan ditandatanganinya perjanjanjian ekstradisi antara RI dan Singapura  yang telah diperjuangkan selama 30 tahun — uang yang sangat dibutuhkan rakyat itu dapat kembali ke Tanah Air. Inilah harapan masyarakat atas perjanjian ekstradisi itu.

Monas dibangun pada tahun 1961-1965 (era Presiden Soekarno), dengan pembiayaan dari sumbangan masyarakat. ”Kita membangun Tugu Nasional untuk kebesaran bangsa. Saya harap, seluruh bangsa Indonesia membantu pembangunan Tugu Nasional itu,” seru Bung Karno.

Seruan itu mendapat tanggapan positif dari masyarakat dengan berbagai cara meyalurkan bantuan. Setelah Soekarno turun tahta, pembangunan Monas dibiayai oleh Setneg dan kemudian APBN.

Di Ruang Proklamasi, enam meter di bawah permukaan tanah Monas, kita dapat mendengarkan kembali suara Bung Karno ketika atas nama bangsa Indosnesia membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan pada Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB. Ruangan itu dilapisi emas dengan berat total 22 kg.

Menurut keterangan, Bendera Pusaka yang selama ini disimpan di Istana Negara akan ditempatkan di Monas berdekatan dengan Ruang Proklamnasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang akan menyerahkan Bendera Pusaka untuk disimpan di sana nanti pada tanggal 20 Mei 2007, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional.

Bendera Pusaka dikibarkan pertama kali ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Bendera berukuran 178 X 274 Cm itu dijahit oleh Ibu Fatmawati, pada pertengahan Oktober 1944, di kediamannya, Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta, dalam waktu dua hari.

Bendera Pusaka itu dikibarkan terakhir kali pada 17 Agustus 1968. Pada peringatan ulang tahun kemerdekaan selanjutnya, agar tidak rusak, bendera ini tidak dikibarkan lagi, hanya disertakan saja. Yang dikibarkan duplikatnya, dibuat dari sutera alam asli Indonesia. Bagian berwarna merah dan putih tidak disambung dengan jahitan, melainkan merupakan satu kesatuan.

”Istriku telah menjahit sebuah bendera dari dua potong kain. Sepotong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. Ini adalah bendera resmi yang pertama dari Republik,” tutur Bung Kanro.

”Alhamdulillah, bendera Republik sudah berkibar sekarang. Aku berdoa dalam hati, kalau pun ia turun lagi, maka ia hanya akan turun melalui tujuh puluh dua juta mayat dari bangsaku yang bergelimpangan. Kami takkan melupakan semboyan revolusi, Sekali Merdeka Tewtap Merdeka,” tutur Presdiden Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Khusus mengenai bangunan-bangunan di Jakarta yang pada masanya banyak dikecam sebagai proyek mercu suar, Bung Karno berkata, ”Tidak, saudara-saudaraku. Kita tidak membangun sebuah Monumen Nasional yang berharga setengah juta dolar hanya untuk membuang uang. Tidak! Kita sedang membuat ini, karena kita menyadari bahwa sebuah bangsa yang hebat, jiwanya dan hasratnya adalah kebutuhan yang absolut untuk kehebatannya, harus disimbolkan dengan sebuah benda materiil, sebuah benda yang hebat, yang kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman.” (Pidato Bung Karno saat pemancangan pondasi Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961).

Lapangan Monas dibuat pada zaman pendudukan Napoleon oleh gubernur jenderal Herman Daendels (1808-1811) dengan nama Champ de Mars bertepatan dengan pemindahan kantor-kantor pemerintahan dan kompleks militer dari Kota Lama di Pasar Ikan ke Weltevreden.

Di samping membangun kantor-kantor pemerintahan, Daendels yang dapat julukan ‘anak revolusi Prancis’ juga membangun komplek militer (tangsi Batalion X), Lapangan Banteng, rumah sakit militer (kini RSPAD Gatot Subroto), dan Sociatet Harmoni (kini bagian dari Sekneg).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Monas untuk 1000 Tahun - Sejarah Pembangunan Monas | oleh Alwi Shahab"

Posting Komentar