[Tokoh Betawi] SURYA BONANG – Berkhidmat Sampai Mati pada Wayang Kulit Betawi | Oleh @YahyaDesember61

GoBetawi.com - Abang-Mpok, Banyak seniman Betawi yang telah menghabiskan hidupnya untuk kesenian Betawi berjuang habis-habisan menjaga dan melestarikannya. Namun sayang, umumnya mereka adalah orang-orang tua yang kini tak banyak mengenalnya.

Kali ini kita akan berkenalan dengan “SURYA BONANG, Dalang Wayang Kulit Betawi” yang akan dikupas mendalam oleh Babeh Yahya Andi Saputra.

Surya Bonang, Berkhidmat Sampai Mati pada Wayang Kulit Betawi..

Pada Awalnya

Etnik Betawi, sebagai etnik inti kota Jakarta, tak ketinggalan mengembangkan wayang kulit sesuai kepatutan Betawi, maka dikenallah wayang kulit Betawi. Inilah kisah wayang kulit Betawi, sebagaimana dituturkan oleh Ki Surya Bonang, seorang dalang tersohor, wayang kulit Betawi.

Konon, ketika Pasukan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram menyerang VOC Belanda ke Betawi, salah sebuah rumah di Jakarta menjadi pos peristirahatan tentara Mataram. Di pos itulah seorang tentara Matarm setiap malam bercerita tentang tokoh-tokoh dan peristiwa pewayangan. Kisah-kisah yang diceritakan ternyata banyak disukai penduduk. Berawal dari sinilah kemudian muncul seni wayang kulit Betawi.

Banyak versi sejarah tentang pemunculan wayang kulit Betawi. Kebanyakan dari versi yang ada memang mengkaitkannya dengan kehadiran pasukan mataram di Betawi. Terlepas dari benar atau tidaknya, kehadiran wayang kulit Betawi adalah hasil interaksi dengan budaya para pendatang yang berasal dari Jawa. Oleh karena itu, tak heran antara wayang kulit Betawi dengan Wayang Kulit jawa banyak terdapat kesamaan.

Serupa Tapi Tak Sama

Ungkapan atau pribahasa ini rasanya tepat guna menggambarkan perbandingan antara wayang kulit Betawi dan wayang kulit Jawa. Di antara berbagai persamaan ada pula beberapa perbedaan. Kalau saja kita jeli mengamati bentuk boneka wayang, penampilan wayang Betawi lebih kasar dibangdingkan wayang dari Jawa Barat, tengah atau timur. “Ini sesuai dengan sifat orang Betawi. Orang kita’kan kalau ngomong asal nyerocos saja kagak ada yang ditutup-tutupin, apa adanya,” kata Bonang beralasan.

Yang tampak lain dalam wayang kulit Betawi adalah, masuknya unsur Sunda yang kental. Meski dialog dengan bahasa Betawi, namun musik pengiring hingga lantunan lagunya berasal dari tanah Pajajaran.

Sepintas, tak ada perbedaan yang berarti dengan wayang kulit lainnya. Hanya barangkali bentuk gapit atau pegangan wayang, pada wayang kulit Betawi tak dijumpai bahan tanduk, namun menggunakan rotan. Wayang kulit Betawi juga didominasi warna merah cerah.

Lakon yang sering dimainkan adalah carangan, cerita yang disusun sendiri oleh dalang dengan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata. Lakon khas Betawi adalah Bambang Sinar Matahari, Cepot Jadi Raja, Barong Buta Sapujagat dan lain-lain. Umumnya, cerita yang dimainkan sangat kontekstual dengan keadaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, wayang kulit Betawi penampilannya lebih bebas, lebih demokratis. Logatnyapun akrab dengan masyarakat Betawi, dan dialog yang ditampilkan menggunakan bahas Indonesia pergaulan, mudah dipahami segala lapisan masyarakat dari berbagai suku.

Hanya saja, orang Betawi diyakini hanya menggemari cerita yang seru dan lucu, sehingga kedua lakon inilah yang kerap dikedepankan para dalangnya. Ada perang dan kaya banyolan.

Selain bentuk fisik boneka wayang, perbedaan juga kita temui pada alat musik yang dipakai. “Musik kita mirip gamelan, tapi bukan gamelan, namanya gambang kromong atawa sering disebut gamelan ajeng,” kata Bonang.

Alat-alatnya terdiri kendang, gambang, kromong, kenong, rebab, suling, kecrek, dan gong. Pabila memainkan lagu-lagu gambang kromong, suling dan tehyan digunakan sangat dominan. Tapi jika mengiringi wayang kulit Betawi, maka penggunaan terompet justru sangat dominan. Menurut catatan Inventarisasi dan Dokumentasi Budaya Betawi yang ditulis Srijono, alat musik pengiring wayang kulit seperti yang saat ini kita jumpai, mulai dikenal tahun 1925.

Tiap petunjukan wayang kulit Betawi, kecuali narasi yang bebahasa Melayu Betawi dan Bahasa Betawi biasa, ada tiga bahasa yang digunakan dalam dialog tokoh-tokohnya. ”Kalau orang-orang terhormat berdialog, ya kita pakai bahasa Sunda atau Jawa. Tapi kalau orang biasa kayak Gareng sama Petruk, nah… kita pakai dah bahasa Betawi klotokan. Itu tuh, Betawi yang tulen banget,” jelas Bonang dengan logat Betawinya.

Lucunya lagi, boneka wayang kulit Betawi justru didapat dari Jawa Tengah. “Kami beli dari Solo dan Yogya terus dipoles-poles lagi dah”. Cerita Bongan. Impor wayang dari Jawa Tenah ini terjadi, sebab menurut penuturan Bonang, bahan-bahannya sulit didapat, disamping pembuat wayang kulit Betawi secara khusus memang sangat jarang. ”Ada sih, tapi sangat terbatas hasil buatannya kasar,” ungkap Bonang.

Jika di Jawa umumnya kesenian wayang kulit berasal, dibina dan dikembangkan oleh pihak keraton, maka wayang kulit Betawi sesuai dengan struktur sosial dalam masyarakatnya yang tak mengenal bentuk kerajaan, maka kesenina ini lebih menonjolkan ciri kerakyatan yang sederhana, polos dan suasana akrab yang timbal balik antara penonton dan dalang. Karenanya, jika kita menyaksikan pertunjukan wayang kulit Betawi, maka yang akan lebih sering kita dengar adalah percakapan dalam bahawa Betawi ‘Klotokan’ menurut istilah dalang Bonang. Atau istilah lain mengatakan Betawi ‘ora’ yaitu Betawi pinggiran.

Wilayah penyebarannya antara lain meliputi Kebayoran Lama, Klender, Tambun. Depok dan Tangerang. Bahkan menurut catatan Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Betawi, beberapa daerah di Serang, Banten terdapt pula kesenian ini. “Di Jakarta, dalang wayang kulit paling banyak ngumpulnya di daerah Jakarta Timur, Kramat Jati, Pasar Rebo dan sekitar Lubang Buaya sana,” kata Bongang.

Perkembangan Wayang Kulit Betawi sempat mandeg dan hampir saja punah dari panggung kesenian tradisional Betwi. Laju modernisasi yang begitu cepat berikut berbagai tawaran hiburan melalui sarana teknogi elektronik jauh lebih menggiurkan kaum muda Betawi. Mereka sebagai pendukung kebudayaannya, justru enggan mempelajari dan menonton wayang kulit. Bahkan, ada seorang mahasiswa yang mangaku putra asli Betawi bertanya, “Apa ada wayang kulit Betawi?” Aneh memang, tapi nyata. ”Anak muda sekarang mah nggak suka nonton wayang kulit Betawi. Selain itu juga, jadi dalang imbalannya kecil. Sekarang udah lebih lumayan dah, ada perhatian dari pemerintah,” ungkap Bonang. Memang sejak tahun 1978, pemerintah melalui Pemda DKI mulai memperhatikan bentuk kesenian ini. Perhatian itu antara lain dilakukan dengan bentuk festival, seminar, penataran dan juga publikasi melalui berbagai media. Usaha pemerintah ini membawa hasil. Anak-anak muda Betawi mulai memperhtikan dan menyengangi kembali wayang kulit Betawi yang hampir saja tenggelam di antara bentuk-bentuk kesenian modern . Meski Bonang masih mengeluh. “Sekarang udah banyak anak muda mau perhatiin wayang. Tapi, yang benar-benar jadi dalang susah dicari, yang ada sekarang masih mentah,” tutur Bonang. Masalah regenerasi emang nggak gampang.

Surya Bonang : Sang Dalang

Photo: Surya Bonang "berbatik hijau"

Wayang kulit Betawi memilik tokoh sentral, yaitu dalang. Satu di antara dalang sohor wayang kulit Betawi adalah Surya Bonang. Lahir di kampung Jagakarsa, Jakarta Selatan, 13 Nopember 1945, Surya Bonang, mengaku semla tak bercita-cita jadi dalang. Ia sebenarnya bercita-cita jadi guru. Setamat Sekolah rakyat (SR) Desa Putera, Lenteng Agung, tahun1957, ia berkeinginan masuk SGB (sekolah guru biasa). Ayahnya tak mengizinkan. Tersebab itu, ia mingat. Berhari-hari ia tak pulang. Meski begitu, sejak kecil ia sangat menyukai wayang.  Dalam keminggatannya itulah, dia berkenalan dengan dalang-dalang  Betawi yang beken yang ditemuinya dalam berbagai pertunjukan.

Ia kian terarik dengan dunia perwayangan. Ia pun mengintensifkan pertemuannya dengan para dalang, antara lain dengan dalang Saim, Siri, Saan, Aman, Boton, Ijo, Amit, dan sebagainya. Kemudian ia berguru kepada dalang Saim (Kampung Bojong), dan dalang Aman (kampng Lobang Buaya). Sambil menjadi panjak atau penabuh gamelan ia mempelajari setiap pementasan dalang Aman. Lama-kelamaan ia menguasai keterampilan mendalang dan berani pentas sendiri. Suatu hari ayahnya mendengar bahwa anaknya, Bonang, telah menjadi dalang yang terkenal. Maka diaajaklah si anak hilang itu kembali pulang ke rumahnya di Jagakarsa.

Profesi sebagai dalang itu mengantarkan Bonang dapat memenuhi kebutuhan pribadi maupun sosialnya. Hidupnya cukup terpandang dan kesejahteraan dapat dinikmatinya. Selain sebagai dalang Bonang sempat  mengelola sebuah bengkel mobil.

Ketika Boang berada di Cirebon awal tahun 1960-an, ia beremu dengan ”orang pintar” bernama Sasmita yang mengomentari sosok Bonang. Dalam pandangan Basmita, Bonang itu laksana matahari. Maksudnya, Bonang mempunyai aura sinar matahari yang memberikan sinar pencerahan kehidupan. Maka menurut Sasmita, nama Bonong harus didahului dengan Surya. Mulai saat itulah Bonang menambah namanya menjadi Surya Bonang.

Bagi Bonang, dalam pementasan wayang kulit Betawi, banyak lakon yang terinspirasi karena peristiwa budaya atau peristiwa politik yang terjadi di tanah air. Peristiwa itu dikemasnya dalam lakon carangan. Menurutnya wayang Betawi mempunyai ciri khas yaitu bahasanya yang bisa dinikmati seluruh Indonesia, karena menggunakan bahasa Betawi, ceriteranya mengandung ajaran moral yang bersumber dari agama khususnya Islam dan ajaran nenek moyang yang luhur. Disamping itu ceriteranya rame dan banyak banyolannya.

Menurut Bonang, tahun 90-an berkembanglah hiburan pop seperti band, film keliling, dangdut, dan organ tungal yang menggeser pasar wayang kulit Betawi. Ki Surya Bonang sangat merasakan dampak dari hiburan pop itu. Frekuensi tanggapannya menurun drastis. Untunglah Pemda DKI segera turun tangan dengan memberi peluang seniman-seniman pedalangan Betawi untuk pentas di berbagai pusat hiburan dana lembaga-lembaga pemerintah.

Krativitas Ki Surya Bonang memang memikat. Betapa tidak, berawal dari sebuah negeri bernama Tanjungkarang Karoban, Ki Surya Bonang menyuguhkan cerita bahwa negeri kaya raya ini baru dipimpin raja muda bernama Prabu Anom. Celakanya, tiba-tiba sang raja dilanda krisis kepercayaan diri. Bahkan, sampai ia berpikir untuk mengundurkan diri sebagai raja karena khawatir tak bisa memimpin dengan baik. Di tengah kebimbangan itu, Prabu Anom memanggil begawan kerajaan benama Sidik Mulia, yang tak lain adalah pamannya sendiri. Ia meminta nasehat dan pertimbangan terkait rencananya dari sang begawan tersebut.

Dalam perbincangan itu, sang begawan tidak menyetujui rencana Prabu Anom. Sebab, sang raja belum memiliki keturunan dan rakyat juga dalam kondisi susah. Jika hal itu dipaksakan, maka akan terjadi kekosongan kekuasaan dan rakyat pasti akan semakin sengsara. Karenanya, Begawan Sidik Mulia menyarankan agar sang Prabu Anom tidak mengundurkan diri.

“Kalau rakyat susah, raja harus merasa susah juga. Pemimpin harus merasakan penderitaan rakyat, jangan menjadi setan. Setan itu, kerjanya cuma mengganggu manusia, karena setan asalnya dari api. Tapi, tidak ada setan, kita juga pasti repot karena bisa-bisa kita makan beras. Gimana tidak, orang masak kan butuh api,” kata dalang Ki Surya Bonang, memplesetkan nasehat begawan Sidik Mulia, hingga membuat penonton tertawa.

Kendati sudah mendapat nasehat, namun Prabu Anom tetap saja gelisah karena terus dilanda krisis kepercayaan diri. Melihat sang raja terus gelisah, sang begawan kemudian memberikan saran alternatif, yakni meminta Prabu Anom untuk mencari jodoh agar mendapatkan keturunan. Dengan maksud, jika sudah mendapatkan keturunan barulah sang raja bisa mengundurkan diri. Sehingga, tahta kerajaan ada yang meneruskan.

Sayangnya, usaha sang raja mencarian jodoh ternyata tak berjalan mulus. Karenanya, Prabu Anom semakin bingung. Saat pilihan pertama disampaikan, sang begawan menyatakan tidak setuju. Sebab, gadis yang akan dipersunting sang raja ternyata anak tukang pembuat arang kayu bakar. Kemudian, sang raaja menjatuhkan pilihan kedua, sang begawan juga tidak setuju. Sebab, gadis cantik berilbab pilihan sang raja itu anaknya tukang ojek. Lantaran kesal, sang raja menjatuhkan pilihan ketiga pada gadis cantik anak tukang panjak (Dalang-red). Dan lagi-lagi sang paman menolak.

“Alo…! (keponakanku-red) panjak itu tukang jalan dan ke mana aja dia pernah mendalang pasti dia kawin. Jadi jangan kau peristri anak dalang, karena saudaranya banyak…” cetus ki dalang disambut tawa penonton. Lantas, sang raja menjatuhkan pilihan keempat pada seorang perempuan bernama Siti Ragen, tetapi sang begawan juga menolak. Sebab, Siti Ragen istri Ki Semar dari Karang Tumaritis. “Jangan kau peristri perempuan yang sudah bersuami, walaupun suaminya sudah tua macam Ki Semar, yang sering terkena penyakit encok,” ledek ki dalang lagi.

Banyolan-banyolan yang dilontarkan dalang membuat penonton tidak beranjak hingga larut malam. Terlebih, nyanyian sinden dan permainan instrumen gambang kromong dari Sanggar Marga Juwita Jagakarsa makin membuat suasana pertunjukan meriah.

Pada Akhirnya

Ki Surya Bonang mengaku pantang surut dari melakoni seni pewayangan Betawi. Dia mengutip pribahasa Betawi, ”Biar kaki jadi kepala, kepala jadi kaki” akan teus bejuang di jalur kesenian wayang kulit Betawi. Jika pentas pertamanya tahun 1957, berarti sudah 52 tahun Ki Surya Bonang mengusung wayang kulit Betawi. Sepanjang itu, ia mengaku tak pernah bosan atau mengeluh. ”Pokoknya sampe mati terus merawat wayang kulit Betawi,” aku Bonang.

Memang akhir-akhir ini Bonang sering mengeluh. Keluhan itu tersebab minimnya anak muda yang dengan tekad bulat mau menjalani profesi sebagai dalang wayang kulit Betawi. Seni instan yang masif akhir-akhir ini, menurut Bonang, menjadi musuh utama seni tadisional.

Sepanjang profesinya sebagai wayang kulit Betawi, Bonang telah diakui secara utuh oleh masyarakat. Penghargaan tu dapat dilihat dari jejeran piagam penghargaan dari bebagai institusi, baik swasta maupun pemerinah. Salah satu penghargaan itu pernah diterima Bonang dan disematkan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jero Wacik, sebagai seniman senior yang melestarikan dan mengembangkan kesenian wayang kulit Betawi.

Bonang masih sangat yakin, di balik kesederhanaan tampilannya, wayang kulit Betawi memiliki peluang untuk tumbuh. Ia memiliki kekuatan dalam penggunaan bahasa. Selama ini, bahasa kerap menjadi halangan untuk mengenal seni wayang. Pada wayang kulit Betawi, tidak. Ia justru kekuatan. Tinggal sang dalanglah yang mengemasnya menjadi sebuah tontonan bermakna dan mencerahkan 



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "[Tokoh Betawi] SURYA BONANG – Berkhidmat Sampai Mati pada Wayang Kulit Betawi | Oleh @YahyaDesember61"

Posting Komentar