Pasar Betawi, "Ngumpul" di Malam Hari | Oleh Ingki Rinaldi


Senin (13/10/2014) malam, sebuah rumah di kawasan Kemandoran VII, Gang Madrasah II, Jakarta Barat, diramaikan orang-orang dan pentas kesenian. Sudah sejak selepas isya, warga masyarakat dari berbagai penjuru Jabodetabek berkumpul di kediaman Haji Ridwan Mustofa, salah seorang tokoh Betawi di Jakarta.
Pentas gambang kromong, berupa permainan alat-alat musik, seperti kenong, gendang, dan bonang dalam lima nada yang dipukul, meramaikan malam itu. Orang-orang berkumpul dan duduk lesehan di teras hingga memenuhi batas luar rumah.

Sebagian badan jalan dalam wilayah permukiman warga itu ditutup. Salah satu sisi ruas jalan dipergunakan untuk tempat parkir kendaraan bermotor.

Menjelang malam, permainan musik berangsur dihentikan. Namun, orang-orang masih tetap berkumpul dan saling bertukar obrolan.

Salah satu topik pembahasan yang dibicarakan dengan cukup serius adalah tentang komitmen dan konsistensi para anggota kelompok.

Sebelumnya, mereka membahas perihal rencana menampilkan sejumlah bentuk kesenian di Istana Negara pada 2 November kelak.

Pertemuan lanjutan hingga lepas tengah malam itu dimaksudkan untuk semakin menguatkan dan menyatakan sejumlah rencana kegiatan. Mereka tergabung dalam komunitas Pasar Betawi.

Salah seorang penggeraknya adalah Nurjanah (38), yang pada malam itu hingga Selasa (14/10) dini hari masih berapi-api mengutarakan pendapat dalam rapat. Malam itu, Nurjanah ditemani suaminya, Edi Permana (39), beserta anak mereka.

Nurjanah dan Edi yang di masa mudanya merupakan aktivis mahasiswa tinggal di kawasan Sawangan, Bogor, Jawa Barat. "Ini rumah mertua saya," kata Edi.

Setelah Lebaran

Sudah empat kali Pasar Betawi mengadakan kegiatan kumpul- kumpul seperti itu setelah perayaan Idul Fitri pada akhir Juli lalu.

"Jagakarsa, Manggarai, Cawang, dan Kemandoran," kata Nurjanah menyebutkan lokasi-lokasi pertemuan Pasar Betawi sebelumnya.

Pasar Betawi, kata Nurjanah, merupakan ajang kumpul-kumpul guna membahas dan mengekspresikan apa pun tentang kebudayaan dan kesenian Betawi terutama mereka yang bergelut di akar rumput.

Ini bukan tentang perkumpulan para elite kebudayaan, melainkan sejumlah pelaku langsung. Tidak kurang dari 60 sanggar kesenian Betawi tergabung di dalamnya.

Silaturahim, pendidikan, usaha komersial, dan pementasan merupakan sejumlah fokus kegiatan komunitas tersebut.

Pementasan yang dilakukan, kata Nurjanah, ditargetkan pula bisa menembus sejumlah panggung dengan khalayak beragam. Pusat-pusat perbelanjaan, termasuk Istana Negara, menjadi tempat mereka bakal mempertunjukkan kemampuan dalam berkesenian.

Selain berlatih dan mempraktikkan sejumlah bentuk kesenian, mereka juga kerap memformulasikan usaha bersama.

Misalnya produk cendera mata yang diproduksi salah satu sanggar, dan kemudian bisa didistribusikan melalui sanggar lain.

Usaha-usaha lain juga tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan. Lomba pantun tingkat sekolah dasar, merupakan sayap kegiatan lain yang dilakukan komunitas itu dalam bidang pendidikan.

Dalam perkembangannya, Pasar Betawi melacak jejak-jejak kebudayaan Betawi yang berdiaspora ke kawasan perbatasan DKI Jakarta. Interaksi dengan kebudayaan lain menghasilkan sejumlah bentuk kebudayaan baru.

"Ada kantong-kantong kebudayaan baru (karena) telah berpindah-pindah," kata Edi.

Akar pencak silat

Ridwan Mustofa menambahkan, kegiatan dalam komunitas tersebut tidak terlepas dari interaksi sebelumnya dalam wadah Silaturahmi Maen Pukulan Betawi (SMPB).

Wadah SMPB merupakan kumpulan para pendekar pencak silat dari sekitar 50 perguruan dengan berbagai aliran yang sudah berjalan sekitar empat tahun belakangan.

Seni bela diri khas Betawi, seperti cingkrik, beksi, dan ronce yang diistilahkan sebagai "permainan" atau "mainan", menjadi kekhasan masing-masing aliran tersebut. Sebagian di antaranya menjadi dasar bagi sejumlah gerakan kesenian.

Ridwan mengatakan, filosofi utama yang dipegang SMPB adalah kebersamaan. Silaturahim, dan bukan hendak menentukan siapa yang paling memiliki kemampuan.

"Ibaratnya sekadar tepok tangan ama ngglinding, enggak apa-apa, dah," ujar Ridwan. Begitulah, dalam keriangan malam yang makin pekat, mereka terus ngumpul dan mengutarakan pendapat.

Subscribe to receive free email updates:

3 Responses to "Pasar Betawi, "Ngumpul" di Malam Hari | Oleh Ingki Rinaldi"